Bagaimana Jika Restorasi Meiji Berkiblat Pada Islam?

Megita Rubi 1/15/2019
bagaimana-jika-restorasi-meiji-berkiblat-pada-islam-jurnal-kehidupan

Jepang bukanlah sebuah negara yang berdiri tanpa adanya sejarah yang melatarbelakanginya. Sekali pun pada saat ini, Jepang dianggap sebagai negara maju dengan moralitas masyarakatnya yang tinggi, cinta budaya dan mashyur dengan teknologi-teknologinya yang canggih, namun jauh sebelum itu Jepang adalah negara yang sangat terbelakang. Hingga akhirnya sebuah pembaruan muncul dan mengubah Jepang menjadi seperti sekarang ini. Pembaruan ini dikenal dengan sebutan Restorasi Meiji, secara singkat ialah sebuah gerakan pembaruan yang mengubah cara pandang bangsa Jepang, sehingga cenderung berkiblat pada bangsa Barat dengan tujuan untuk menjadi bangsa yang beradab. Yakni yang berpedoman pada Bushido. Menurut Nitobe Inazo dalam bukunya Bushido: The Soul of Japan, sumber ajaran bushido ini adalah ajaran Buddha dan ajaran Konfusianisme. Nitobe banyak mengutip ayat-ayat dari Perjanjian Baru dan kata-kata mutiara dari para tokoh Eropa sebagai pembanding untuk menunjukkan esensi dari bushido sebenarnya sama dengan ajaran dalam Kristen dan semangat Eropa.1 Hal ini bertujuan untuk meyakinkan bangsa-bangsa Barat, bahwa Jepang adalah bangsa yang beradab.

Bahkan untuk mengenang peristiwa bersejarah ini, Jepang mengadakan sebuah festival yang dinamakan Black Ships Festival yakni sebuah festival yang mempertunjukan berbagai kesenian dan kebudayaan Jepang. Festival ini diadakan antara tanggal 16 dan 18 Mei. Kesenian dan kebudayaan yang ditampilkan yakni Taiko, Origami, Ikebana, Upacara Minum Teh dan lain sebagainya.2 Bahkan orang-orang Barat pada saat festival itu pun terlihat menggunakan pakaian tradisional Jepang untuk memeriahkan acara.

Singkatnya, Jepang mengenang kembali kedatangan black ships atau kapal hitam yang pada saat itu datang ke Jepang. Kedatangan kapal hitam ini pula yang menjadi titik awal Jepang mulai membuka mata terhadap dunia luar.

Namun pertanyaan yang muncul di benak penulis ialah apakah Jepang sudah benar-benar berubah menjadi bangsa yang beradab? Apa definisi sebenarnya dari beradab itu sendiri? Apakah keputusan Jepang untuk berkiblat pada Barat itu adalah keputusan yang tepat? Dan apa makna sebenarnya dari Black Ships Festival? Seolah bangsa Jepang begitu merayakan kedatangan kapal hitam sehingga membuatnya menjadi sebuah festival yang selalu diadakan setiap tahun.

Hal ini berkaitan dengan latar belakang Black Ships Festival. Yakni bermula pada awal abad ke-17, rezim Tokugawa mengusir orang-orang Portugis yang hendak berdagang dan menyebarluaskan ajaran agama Kristen (Katolik) dan melarang orang-orang Jepang pergi ke luar negeri serta melarang orang-orang Barat (selain orang Belanda) untuk datang ke Jepang.

Kecintaannya terhadap budaya tradisional, membuat masyarakat Jepang merasa khawatir jika ajaran-ajaran asing itu akan membuat kehidupan berbangsa menjadi kacau seperti rakyat yang membangkang pemerintah dan lain sebagainya. Maka hal inilah yang membuat Jepang semakin menutup diri dan tidak ingin melihat dunia luar.

Namun pada tahun 1850, sebuah Komodor Perry datang ke Jepang membawa utusan dari Amerika Serikat seolah memaksa Jepang untuk membuka diri dengan cara ikut bekerja sama dalam perdagangan Amerika Serikat. Selain Amerika Serikat, sejumlah negara seperti Inggris, Prancis, Rusia, dan Belanda juga menyodorkan permintaan yang sama pada Jepang.

Sejak saat itulah, Jepang mulai berinteraksi dengan bangsa Barat. Kedatangan orang-orang Barat, memaksa Jepang mengakui bahwa negaranya sangat terbelakang dalam hal ekonomi, industri dan militer. Hal ini diperkuat juga dengan sebuah misi yang dilakukan oleh Iwakura Tomomi, yang ditunjuk oleh pemerintahan Jepang melakukan sebuah perjalanan ke negeri-negeri Barat untuk membuktikan kehebatan bangsa Barat. Fakta keterbelakangannya inilah yang juga memaksa Jepang menerima perlakuan tidak adil dari bangsa-bangsa Barat.

Sehingga inilah yang membuat Jepang sedikit membuka mata. Dengan berkiblat pada bangsa Barat sebagai acuan untuk menjadi bangsa yang beradab. Namun masih ada perasaan khawatir dalam hati rakyat Jepang. Yakni mengenai agama Kristen yang dibawa oleh bangsa Barat. Mereka menganggap bahwa agama Kristen mewakili kekuatan asing yang berpotensi menjajah Jepang.

Meskipun demikian, mereka tetap meniru budaya bangsa Barat dalam segala aspek demi mewujudkan keinginannya. Seorang penulis buku yang juga seorang tenaga pendidik mengenai sejarah dan masyarakat Jepang di Program Studi Kajian Jepang, Susy Ong, menjelaskan dalam bukunya Seikatsu Kaizen bahwa masyarakat Jepang secara membabi-buta meniru penampilan Barat hanya demi terlihat ‘beradab’ padahal sangat kocak dan tidak rasional.3 Hal ini tidak lain disebabkan karena ambisi rakyat Jepang yang ingin menjadi bangsa yang ‘beradab’.

Pada akhir tahun 1860-an, pemerintah yang melarang rakyat Jepang berinteraksi dengan bangsa-bangsa Barat, tumbang, digantikan oleh rezim baru dibawah Kaisar Meiji, yang proaktif menyerukan agar belajar dari Barat dalam rangka untuk ‘menciptakan Jepang yang beradab’. Puncaknya yakni pada tahun 1868, Jepang benar-benar berubah, baik pada struktur politik dan sosial. Sehingga peristiwa ini disebut sebagai Restorasi Meiji.

Namun ada hal menarik di sini, yakni alih-alih sejak Restorasi Meiji rakyat Jepang seolah sudah mencapai pada tingkat menjadi bangsa yang beradab, namun pada kenyataannya saat ini Jepang seolah kembali pada masa sebelum pembaruan itu.

Pedoman masyarakat Jepang dalam beradab ialah Bushido. Namun isi dari ajaran bushido itu sendiri masih bergantung pada ajaran Barat, sehingga tidak pasti dan cenderung berubah-ubah. Maka dalam praktiknya, penuh dengan subjektivitas karena harus disesuaikan dengan pandangan Barat, sedangkan setiap manusia memiliki kepentingan dan keinginannya sendiri.

Namun terlepas dari hal itu, tidak ada yang bisa menafikan bahwa pada saat ini Jepang dipandang sebagai sebuah negara dengan moralitas masyarakatnya yang sangat tinggi. Cinta akan kebersihan, santun terhadap sesama, disiplin, sangat menghargai waktu dan lain sebagainya. Namun khususnya pada sistem pergaulan di negara tersebut, seolah menunjukkan bahwa Jepang belum sepenuhnya menjadi apa yang mereka inginkan. Bagaimana hubungan seks seolah menjadi sesuatu hal yang lumrah, bahkan alih-alih mereka membuang kebiasaan mabuk-mabukkan namun pada saat ini hal itu seolah menjadi budaya yang tidak dapat dipisahkan dari Jepang.

Semua ini sangat masuk akal, mengingat kiblat Jepang untuk berubah ialah bangsa-bangsa Barat dengan berpedoman pada bushido. Citra bangsa Barat dikalangan masyarakat ialah sebagai negara penjajah. Bahkan bagi Indonesia sekali pun, pandangan itu tetap berlaku. Gaya hidup bebas di sana pun masih ada hingga sekarang. Hal ini membuktikan bahwa manusia memiliki kepentingan dan keinginannya sendiri sehingga pandangannya tidak bisa dijadikan sebuah pedoman dalam berperilaku.

Namun sejarah seolah memainkan retorikanya sendiri. Membuat sejumlah narasi seolah bangsa Barat adalah bangsa yang agung. Padahal jauh sebelum bangsa Barat di agung-agungkan, ada sebuah negeri yang amat sangat terkenal dengan adabnya dan intelektualitasnya yang sangat tinggi, yakni Daulah Islamiyah.

Adalah sebuah negara yang beradab, berintelektualitas tinggi dan maju dalam berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, sosial dan lainnya. Bahkan pada masa kejayaannya, Daulah Islamiyah menjadi mercusuar peradaban dunia ketika peradaban Eropa yang pada saat itu sedang dalam kondisi gelap gulita, sebelum akhirnya Daulah Islamiyah runtuh pada tahun 1924.

Namun terlepas dari hal itu, selama negara ini tegak dan melakukan banyak sekali futuhat atau penaklukan di beberapa negara, Daulah Islamiyah tidak pernah dicap sebagai negara penjajah. Hal ini karena dalam praktiknya, bukan hanya kaum muslim namun semua masyarakat yang ada di negara tersebut (yang berbeda agama) benar-benar melakukan penaklukan dengan menunjukkan adab yang tinggi, adil dan menginginkan sebuah keputusan yang terbaik untuk kedua pihak. Lalu apa yang mendasari mereka sehingga bisa menjadi seperti itu?

Seorang penulis Taqiyuddin An-Nabhani dalam bukunya Nizham Al-Islam menjelaskan bahwa bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta dan manusia. Sebab, pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala sesuatu.4 

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa syakhshiyah (kepribadian) pada setiap manusia terbentuk oleh ‘aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola sikap)-nya. Maka hal inilah yang ditekankan oleh islam, untuk senantiasa memikirkan apa pun yang ada di dunia ini agar terbentuk pola pikir yang benar. Sementara pemikiran yang benar ialah pemikiran yang dapat membuat hati menjadi tenang, masuk akal dan sesuai dengan fitrah manusia (memanusiakan manusia).

Maka dari proses berpikir inilah akan tercipta sebuah kesadaran yang tinggi terhadap sebuah Dzat Maha Besar, yakni Sang Pencipta. Sebagaimana para filsuf terdahulu yang mencari eksistensi Tuhan hingga akhir hayatnya. Hal ini membuktikan bahwa Sang Pencipta, yakni Tuhan, tidak bisa dinafikan begitu saja seolah keberadaannya tidak ada. Sehingga ketundukkan ini pula yang akan membuat manusia lebih beradab karena berpedoman pada kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al-Qur’an. Yakni sebuah kitab atau pedoman yang pasti, tidak ada sudut pandang selain-Nya dan tidak akan berubah.

Sekali pun sejarah seolah membungkam Daulah Islamiyah untuk menunjukkan diri, namun peninggalan-peninggalannya seolah menjadi bukti bahwa sebuah negara beradab dengan intelektualitasnya yang tinggi itu pernah ada. Salah satu bukti dedikasi ilmuwan muslim terhadap bidang pendidikan ialah Al-Khawarizmi sebagai penemu angka nol, penggagas algoritma dan perintis konsep aljabar. Ilmu pengetahuan yang berasal dari ilmuwan muslim masih dipakai pada saat ini, meski pun narasi dibalik semua ilmu pengetahuan itu seolah tiba-tiba hilang.

Hal yang patut untuk disayangkan ialah Jepang lebih condong terhadap Barat tepat ketika Daulah Islamiyah mengalami kemunduran, yakni satu abad sebelum Daulah Islamiyah runtuh pada tahun 1924. Hal yang memilukan adalah sebab dari kemunduran Daulah Islamiyah itu sendiri, yakni karena pengaruh Barat yang mulai mencampuri urusan negara, sedangkan Jepang seolah menerima kedatangan Barat sebagai suatu cara untuk membuatnya ‘lebih beradab’.

Namun dari kenyataan ini setidaknya kita dapat mengetahui suatu hal bahwa keinginan Jepang sangatlah sederhana yakni ingin mendapatkan pengakuan dari dunia. Terbukti dengan diadakannya Black Ships Festival, seolah menunjukkan bahwa kedatangan kapal hitam Amerika Serikat pada saat itu adalah sebuah cahaya baru bagi Jepang untuk berubah. Namun alih-alih sejak Restorasi Meiji, Jepang menjadi bangsa beradab dengan berkiblat pada Barat, justru Jepang terlihat seperti sedang dijajah oleh mereka dengan dipaksa untuk menuruti semua budaya Barat.

Sementara islam sejatinya tidak akan memaksa, justru islam yang akan memuliakan mereka menjadi bangsa yang beradab, menyadarkan mereka bahwa bukan Bushido yang menjadi pedoman dalam beradab namun Al-Qur’an yang akan menjadikannya demikian.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1 Seikatsu Kaizen, Susy ONG, hal. 82-83, cetakan ketiga, 2018.
2 https://blackshipsfestival.com
3 Seikatsu Kaizen, Susy ONG, hal. 14, cetakan ketiga, 2018.
4 Nizham Al-Islam, Taqiyuddin An-Nabhani, hal. 7, cetakan ke-12, 2013.

Share this

Admin :

Related Posts

Previous
Next Post »