Indahnya Berbagi

6/30/2019 Add Comment

Jika manusia berada dalam kedamaian yang indah maka mereka akan mendapatkan kebahagiaan yang tak ternilai. Membantu orang lain ialah hal yang indah jika dijalankan dengan sepenuh hati. Allah SWT mencintai umatnya yang apabila mereka hidup rukun dengan sesama dan saling menjalin hubungan yang baik juga saling berbagi dengan sesama. Selain mendapatkan pahala, berbagi juga memberi kebahagiaan kepada sesama juga memberi keindahan diantara sesama dalam menjalin hubungan.

Jika kita ingin memberi atau berbagi dengan sesama, kita harus ikhlas dan tak perlu khawatir hartanya akan berkurang. Bahkan Nabi Muhammad pun menegaskan bahwa harta tidaklah berkurang dengan sedekah.

Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Nabi SAW berkata :

Ù…َا Ù†َÙ‚َصَتْ صَدَÙ‚َØ©ٌ Ù…ِÙ†ْ Ù…َالٍ

Artinya: Sedekah tidaklah mengurangi harta (H.R.Muslim)

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwasanya harta tersebut akan diberkahi dan akan dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya. Walaupun secara bentuk harta tersebut berkurang, namun kekurangan tadi akan ditutup dengan pahala disisi Allah dan akan terus ditambah dengan kelipatan yang amat banyak.

Jika kita menjalankan segala sesuatu karena Allah maka kita akan diberi kemudahan. Seberat apapun hal yang menghalangi kita namun saat kita menjalankannya dengan hati yang ridho karena Allah maka hal itu akan terasa ringan. Dalam hal berbagi juga jika kita niat karena Allah maka hal itu tentu akan indah dan mendapatkan kebahagiaan dan kerukunan antar sesama.

Berbagi mengindikasikan pengorbanan dan kerelaan untuk memberi. Semakin banyak memberi, semakin tidak akan merasa kekurangan. Ketika yang dikorbankan adalah harga diri sendiri untuk meningkatkan harga diri orang lain. Disinilah keindahan berbagi dari pada sekedar menerima.

Ketika telah meraih kesuksesan, kadang seseorang lupa daratan. Ketika bisnis dipuncak kejayaan, manusia pun lupa akan kewajiban dari harta yang mesti dikeluarkan dan lupa untuk saling berbagi.

Mencurahkan harta, pikiran tenaga bahkan jiwa itulah berbagi adalah cara kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Kalau anda ingin kekayaan maka berbagilah dengan rezeki. Jika anda mendambakan kebahagiaan maka berikanlah kebahagiaan. Jika kita mendambakan cinta maka kita harus memberikan cinta. Karena dengan memberi kita akan menerima. Berbagi memperkaya hidup kita. Berbagi adalah hak istimewa bagi kita. "Semakin banyak anda memberi maka semakin banyak pula anda akan menerima".

Ketika kita berbagi berarti kita akan menjadi manusia yang bermanfaat sedangkan bermanfaat adalah sebaik-baik manusia. Dengan berbagi maka insya Allah rasa kepuasan yang tak ternilai dalam diri itu akan hadir.

Maka dari itu mari kita tingkatkan kebersamaan, kerja sama dan saling berbagi hal yang bisa bermanfaat untuk sesama.

Penulis : Bella Ni'matullah
NIM : 1708307023
Jurusan/Semester : Ilmu Hadis/4
Kampus : IAIN Syekh Nurjati Cirebon
HP/WA: 083829108198
FB: Bella An-Ni'mah

Cinta yang Semu (Sebuah Refleksi)

6/30/2019 Add Comment

Oleh : D.Ervin

Semua akan terlihat indah bila kita membalutnya dengan sebuah cinta, sebagaimana permata yang indah tertanam di dalam lumpur yang begitu pekatnya.

Berbisik seperti angin yang menyejukan hati dan pikiran, terlintas dalam benak seseorang yang terungkap melalui ucapan.

Dan tahukah...

Cinta bukan hanya sekedar ungkapan yang selama ini orang mampu untuk menyampaikan melalui lisan dan sebuah hasrat keinginan.

Cinta itu bukan hanya soal rasa tetapi juga soal bukti yang nyata !

Bukan seseorang yang datang lalu mengungkapkan perasaan, lalu kamu pasrahkan...

Melainkan seseorang yang datang kerumahmu lalu mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam, lalu yang dia katakan adalah sebuah keseriusan yaitu pernikahan.

Selain padanya adalah cinta yang semu juga menipu, hanya mempermainkan perasaan yang membuat orang hilang akan kesadaran dan hilang akan keimanan.

Bersenang-senang akan perbuatan yang jelas menyalahi aturan Al-Qur'an seperti halnya pacaran yang begitu dekat dengan perzinahan.

Melepas Rindu

6/23/2019 Add Comment
Pagi tadi dua orang teman datang ke rumahku. Mereka mengajakku ke acara halal bi halal yang diadakan di rumah makan nera, bertempat di Majalengka Kota. Setibanya disana, banyak sekali asatidz, serta tokoh dan ulama se kabupaten dan kota majalengka. ini sungguh pengalaman yang luar biasa bagiku.

Aku berniat untuk sekedar menjadi peserta pada acara silah ukhuwah tokoh dan ulama majalengka ini. Namun, tak lama kemudian panitia memintaku menjadi photografer untuk acara ini. dalam hati aku kegirangan. Bagaimana pun ini kesempatan yang tepat untuk menunjukan potensi photograpiku.

Beberapa sesi telah aku dokumentasikan, kemudian aku hendak berjalan ke arah pintu keluar untuk mendokumentasikan peserta dibagian belakang. Qadarullah aku bertemu dengannya. dengan orang yang telah ku anggap ayahku sendiri.

syukron bareng kang aras


Sosok yang mendukungku dalam membangun "Komunitas Jurnalis Muda", sosok yang membantuku ketika musibah menimpa. beliau kang aras, salah satu redaktur koran di majalengka. aku pertama kali mengenalnya ketika bersilaturahmi ke adik iparnya, dan alhamdulillah allah menghantarku berkenalan dengannya.

Sungguh luar biasa rasanya bisa bertemu dengan beliau kembali. Setelah sekian lama tidak berkomunikasi, dan berinteraksi, alhamdulillah allah pertemukan kembali. 

Berbincang dengannya seputar resolusi kojum, perkembangannya serta dukungan dari beliau untuk kojum disampaikan dalam pertemuan yang singkat itu. Ya Allah, ingin rasanya berbincang hangat se-bebas mungkin dengannya. namun apalah daya, waktu menjadi kendala. yang pasti do'aku selalu menyertainya. semoga beliau tetap dalam lindungan-Nya. Aamiin ya Rabbal'alamiin. 

Janji Suci Yang Sesungguhnya

6/23/2019 Add Comment
janji-suci-refleksi

Oleh : D. Ervin

Janji itu hadir sebagaimana hutang yang seharusnya kita bayar atau kita tepati dengan dasar persetujuan dan kehendak hati. 

Tak ada dusta yang menghiasi ketika lisan mengucapkan apa yang ada dalam diri dan niat yang selamanya manusia akan selalu berhati-hati.

Janji adalah sebuah janji yang tak seharusnya manusia ingkari dan manusia rendahkan sebagaimana harga diri.

Janji itu berpandang dari sebuah harga diri dan jati diri, teruntuk laki-laki yang mencintai pujaan hati yang bersanding di dalam tali suci.

Dari ikrar itulah benih-benih cinta itu tumbuh diantara tanah yang kering dan tandus tak pernah terhujani.

Sebagaimana cinta suci yang tak pernah berkata aku ingin menjadi pacarmu, melainkan aku ingin datang kepada orang tuamu untuk melamarmu.

Dan melanjutkan dalam sebuah pernikahan, dimana Allah memberi keberkahan untuk seorang hamba yang tak ingin berbuat dosa melainkan sebuah pahala.

Tak ada janji yang terindah kecuali mereka yang telah menikah.

Sebab cinta tumbuh bukan karena pacaran, melainkan tumbuh karena pernikahan.

DIAGNOSIS - Puisi

6/22/2019 Add Comment
Oleh : Dina Putri Maharani

Bibirnya bercakap tuk mengumpat
Diiringi tutur kata nan merisik
Dia Pandai menaksir Sang Tabiat
Bak sang Tabib mengesir rasa sakit

Biarlah hipotesisnya melangit
Karena awan tahu, kerap mendelik
Tentang sifat, yang selalu kupingit
Langit nan tau, tapi bumi nan sengit

Lagi-lagi melekat padaku
Kini topik hidupku penuh isu
Aduhai , Lika-liku kerap menyiku
Tapi Biarlah, ini Tetap A K U

mulut membeku,hati terpaku

PRAMUPINTU - Puisi

6/16/2019 Add Comment
PRAMUPINTU - Puisi

PRAMUPINTU
Oleh: Dina Putri Maharani

Kunci nya menghilang, semua tersendat.
Mengantri padat , patuh terhadap mandat.
sesekali puan mendelik, mengingat pelik.
Meraba patahan, dan memilah begitu apik.

Hilir bergilir singgah, dianggapnya simpang siur.
Kini , pintu itu masih tertutup tak berkutik 
Sesekali puan mendelik, namun hati tak jua akur.
Semua Antrian masih setia, namun kini sedikit berisik.

Engsel mulai berkarat, di ketuk masih tertutup.
Sesekali puan mendelik, mereka bukan dia.
Siapa Pemilik kunci ? Semua sigap berdegup.
Menanti jawaban, semua harap adalah "dirinya".

Namun, pintu masih tertutup, kunci belum tiba. 
Puan enggan persilahkan, membuka pun segan.
menanti sedikit lelah hingga peluh berhati iba. 
Sesekali puan mendelik, tetap menolak dengan elegan.

Puan bermandat,
Bubarkan pasukan, menunggu ku itu ilusi.
Kini Pintu tak kan kubuka, biarlah berkarat.
Bila Maha Kasih bertitah, tak kan ku bantah.

Kan ku buka, saat  rangka kunci tak berjangka.


source :
facebook.com/Dina Putri Maharani
instagram.com/d.pmaharani

akun kami :
instagram.com/kojum24
facebook.com/kojum24

Klise Sang Buana - Puisi

6/15/2019 Add Comment
klise sang buana - dina putri maharani

Klise Sang Buana
Oleh : Dina Putri Maharani

Alas kakiku lekat ,  terrebah kan .
Diatas pangkuan sang tanah
Berdiri tegak merinci putaran 
Sesekali menoreh mencari arah.

Berlenggok , menunggangi bukur bahara
Menghayati rasa dipenghujung remai
cetusanku menganga di atap binara
lantang mestinya, namun lirih menyemai 

Begitulah kau diri.
Syukur yang perlu tinggi kau junjung .
Keluh mu tak perlu terlampau berisik 
Karena Susah hanya sekedar berkunjung 
Tahan sedih mu,  agar hening tak gemerisik.

source :
facebook.com/Dina Putri Maharani
instagram.com/d.pmaharani

akun kami :
instagram.com/kojum24
facebook.com/kojum24

Cokelat (Cerpen)

Megita Rubi 6/13/2019 Add Comment
Cokelat 
Oleh: Megita Rubi 

cokelat-cerpen


Setelah pertemuan komunitas penulis selesai, aku segera pamit pulang karena harus berbelanja terlebih dahulu. Kika, Dimas dan Putri ternyata satu arah denganku. Kami berempat menaiki sebuah mobil angkutan umum dan pergi pulang. Aku berencana untuk turun di sebuah mini market dekat lampu merah. Setelah mobil angkutan umum ini mendekati tempat itu, “Aku juga akan turun disana.” Aku menoleh kearah Dika. “Kamu juga akan berbelanja?” tanyaku. Dika mengangguk. Akhirnya kami berdua berpisah dengan mereka disana.

Dimas Angkasa. Dia adalah seorang lelaki berusia 20 tahun yang aktif di bidang kepenulisan. Aku mengenalnya saat bertemu di komunitas penulis ini. Menurutku dia lelaki yang baik, sopan dan bijaksana. Dia sangat tahu bagaimana seorang lelaki harus bersikap, terlebih dihadapan perempuan. Hingga tanpa sadar saat ini aku mengaguminya.

Setelah itu kami berdua masuk ke dalam mini market. “Ana, kamu suka cokelat?” tanya Dimas.

“Suka.” jawabku. Dimas tersenyum. Aneh, batinku. “Dimas, aku kesini dulu ya.” Dia mengangguk. Akhirnya kami berpencar untuk mencari barang yang akan kami beli.

Keripik kentang, susu cokelat, roti keju, kopi susu, mie instan.. aku terus mengelilingi mini market ini dari sudut ke sudut. Tepat beberapa menit berlalu, tiba-tiba Dimas memanggilku dari kejauhan.

“Ana, aku pergi duluan ya, assalamu’alaikum.” ucapnya sambil melambaikan tangan kearahku. Aku tersenyum.

“Ya, wa alaikumussalam.” Aku kembali mencari barang-barang yang kubutuhkan. “Kurasa ini sudah cukup.” Kubawa barang belanjaanku ke tempat kasir. Setelah kasir memberikan uang kembalian, aku hendak pergi namun beberapa detik sebelum itu tiba-tiba saja dia menahanku. “Maaf, Mbak,” ucapnya. Aku menoleh.

“Ya?”

“Ini ada barang titipan dari teman Mbak yang tadi. Dia menyuruh saya untuk memberikannya pada Mbak. Silahkan.” Aku terkejut melihat sebungkus cokelat yang kasir itu sodorkan kepadaku. Dari Dimas kah?

Aku masih mematung di depan kasir, perlahan kuambil cokelat itu. “Terima kasih.” Aku melangkah keluar dari mini market ini dan meninggalkan semua yang ada di dalam sana. Namun pikiranku masih memikirkan sosok lelaki yang beberapa menit sebelumnya datang bersamaku ke dalam mini market itu, lalu secara tiba-tiba dia memberiku sebuah cokelat. Terlebih menitipkannya pada seorang kasir, apa maksud dari semua itu? Aku masih tidak mengerti.

Sejak cokelat itu ada dan menghiasi laci di kamarku, orang-orang rumah sibuk mempertanyakannya. “Cokelat siapa ini, Kak?” tanya adikku, Bagas.

“Entahlah. Jangan dimakan.” jawabku. Sudut bibir Bagas terangkat. “Pemberian orang ya?” Aku tidak menjawab pertanyaannya. “Kalau sampai Kak Fafa tahu, Kak Ana pasti dimarahi. Jangan main pacar-pacaran! Dosa!” Dahiku berkerut. Sok tahu!

“Siapa yang main pacar-pacaran?!” Bagas tertawa lebar. Dia berhasil membuatku kesal. Meskipun begitu, kehadirannya sedikit membuatku tertarik untuk berdialog dengannya. Tentang cokelat pemberian Dimas. Karena jika dengan kakak perempuanku, itu terdengar mustahil.

“Gas,” panggilku.

“Apa?”

“Kalau ada seorang lelaki yang memberi Kakak sebuah cokelat, itu artinya apa ya?” tanyaku ragu. Firasatku mengatakan bahwa setelah ini Bagas akan tertawa jungkir balik di atas kasur. Menertawai kakak perempuannya yang sedang bingung oleh seorang lelaki. Tertawalah, Dik!

“Begini, ini Kak, Bagas kasih pensil ini ke Kak Ana. Menurut Kak Ana, pemberian pensil ini artinya apa?” Aku mengerutkan dahi. “Biasa saja. Tidak ada artinya.” jawabku.

“Bisa jadi begitu.” Aku semakin bingung dengan perkataannya. “Sesederhana itu?” tanyaku.

“Ya, maksudku bisa saja cokelat itu tidak artinya, tadi Kak Ana berpikir seperti itu bukan?” Aku mengangguk pelan. “Tapi,” Bagas menggantungkan perkataannya.”bisa jadi dia berpikiran lain.”

“Maksudmu?”

“Mungkin dia ingin menunjukkan sesuatu.”

“Hah?” Aku semakin tidak mengerti. “Kak Ana suka cokelat?” tanya Bagas. Aku mengangguk. “Suka.” Lalu tiba-tiba Bagas menyeringai.

“Inilah artinya. Dia menginginkan Kak Ana menyukainya, seperti Kak Ana menyukai cokelat ini. Betul kan?”

“Suka dalam bentuk?”

“Memiliki.”

“Dengan cokelat?” tanyaku. Bagas mengangkat bahu. Setelah pembicaraan yang cukup panjang ini, Bagas pergi meninggalkan kamarku. Jawabannya tidak bisa membuatku puas.

Beberapa minggu setelah itu, pertemuan komunitas penulis kembali digelar. Sejak pagi aku sudah siap-siap untuk berangkat. Terlebih dengan pertemuan ini aku akan bertemu dengan Dimas, aku berharap semuanya bisa terjawab. Namun saat tiba di sana, batang hidung Dimas tidak kelihatan. Bahkan sampai kegiatan dimulai, dia tak kunjung datang. Akhirnya kuputuskan untuk menanyakannya pada panitia, Lani.

“Kemarin Dimas berangkat ke Jepang untuk melanjutkan S2 nya. Jadi kemungkinan besar, dia tidak akan mengikuti pertemuan ini lagi.” Aku tertegun. Bingung. Mendapati kenyataan yang seperti ini membuatku semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya Dimas rencanakan. Tiba-tiba datang memberiku cokelat tanpa permisi dan pergi tanpa pamit. Sungguh tidak sopan.

Lima bulan telah berlalu, namun cokelat pemberian Dimas masih belum kumakan juga. Kujadikan cokelat itu sebagai hiasan kamar. Aku tidak peduli. Meski aku berharap disela-sela waktu senggangku, dia akan menghubungiku untuk sekadar menyapaku, sehingga setelah itu aku bisa menyerangnya dengan pertanyaan: Apa arti dari cokelat ini?

Hingga akhirnya waktu benar-benar menjawab harapanku: Ana. Ini aku Dimas. Bagaimana kabarmu?
Tepat pukul 8 malam, Dimas mengirim pesan padaku. Setelah melihat pesan yang dia kirim aku tersenyum dan tiba-tiba merasa frustasi. Akhirnya kami berdua saling membalas pesan, hingga saat aku menanyakan tentang cokelat itu dia menjawab: Aku mencintaimu.

Aku mengerutkan dahi. Lalu kujawab pesannya: Dengan cokelat kah?

Lama sekali kutunggu balasan darinya. Sampai akhirnya dia membalasnya juga: Apa kamu ingin menjadi kekasihku?

Seketika itu pula kulempar ponselku ke atas kasur. Geram. Dia menjawab setiap pertanyaanku dengan lelucon. Aku matikan ponselku lalu duduk ditepi kasur. Termenung.

“Bodoh! Aku mengaguminya selama ini karena kuanggap dia adalah lelaki yang baik, sopan dan bijaksana. Tetapi perilakunya menghadapi seorang wanita sangat tidak sopan. Menjadikan cokelat sebagai pembuktian cinta lalu pergi. Gila!”

Sejak saat itu aku tidak pernah membalas pesan-pesan yang dikirim oleh Dimas. Meski dia terus menanyaiku tentang jawaban terhadap pertanyaannya yang gila.

Hingga suatu saat aku tidak bisa menahannya lagi. Kuambil ponselku dan aku jelaskan semuanya: Terima kasih atas pemberianmu. Aku tidak bisa menjalin sebuah hubungan hanya karena sebuah cokelat. Jika kamu memang mencintaiku, pulanglah, temui kedua orang tuaku. Aku akan lebih bahagia melihatmu mengucapkan akad daripada memberiku sebuah cokelat. Cokelatmu pahit. Aku tidak suka dark cokelat.

Termanggu di Atas Bukit (Cerpen)

Megita Rubi 6/13/2019 Add Comment

Termanggu di Atas Bukit 
Oleh: Megita Rubi 

termanggu-di-atas-bukit-cerpen



Di kota ini aku tinggal bersama dengan serpihan kenangan yang masih selalu kudekap dalam hati yang terlampau rapuh. Sebagai gadis berusia hampir kepala tiga, tak ada hal lain yang aku inginkan selain melepaskan masa lajang dan bersimpuh penuh hormat pada seorang lelaki yang kelak akan kusebut sebagai seorang suami. Namun kenyataan berkata lain, sampai pada detik ini aku masih termanggu di atas bukit.

 Aku yakin Tuhan telah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Meski sampai pada detik ini aku belum bisa menemukan batang hidung pasangan hidupku. Sejak dua tahun yang lalu, bukit yang di depannya terhampar danau yang luas ini menjadi tempat paling aku sukai. Dengan menatap jauh air yang tenang, segala kenangan demi kenangan seakan membuncah ketika aku duduk di sana. Dan pada hari ini, semuanya seakan telah jelas. Genap dua tahun, dia tidak kembali. Sedang aku terus termanggu di atas bukit.

Aku bosan dengan kegaduhan di sekitarku. Mungkin karena hal itu, aku lebih senang menghabiskan waktu duduk di atas bukit dengan ditemani air danau yang menenangkanku. Keluargaku dan teman-temanku tidak tahu apa-apa. Mereka hanya banyak bicara tanpa mengerti apa-apa. Keluargaku mengatakan bahwa aku sudah gila, karena menunggunya. Semua teman-temanku mengatakan bahwa setia padanya adalah sebuah pembodohan.

Mereka tidak tahu! Bahwa pada kenyataannya perihal hati tidak bisa sesederhana itu.

Mereka juga tidak tahu! Sudah berapa kali hati ini menolak untuk kembali mengenangnya.

Aku lelah… Segala harapan dan penantian seakan membunuhku secara perlahan. Hingga pada suatu waktu aku merasa… hampa. Lalu mengerti akan suatu hal: Harapanku sia-sia.

Hingga pada saat ini, kusandarkan segala benih harapan hanya kepada-Nya. Sebuah nama yang dulu kugaungkan di setiap doa-doaku, kini hanya menyisakan sebuah pengharapan besar pada-Nya. Aku ingin yang terbaik untuk hidupku. Sehingga aku bisa melakukan sesuatu untuk menjadi yang terbaik pula untuknya. Di atas bukit yang tinggi ini, aku duduk termanggu, menatap jauh segala harapan yang dulu selalu kudekap dalam raga. Terbang dan menjauh pergi meninggalkan diri. Tidak apa. Inilah yang terbaik: Berharap pada-Nya.

Meeting dengan Teman Lama

6/09/2019 Add Comment
teman lama

Pertemanan kami sudah begitu lama. sejak sekolah dasar, sejak itulah aku mengenal dia. Faruq namanya, penampilannya masih sama seperti dulu. sederhana menutupi banyak ilmu pengetahuan dalam kepalanya, wah pokoknya inner beauty deh sobat yang satu ini. 

Karena masalah pendidikan, kami berdua harus terpisahkan pada jenjang SMA. Namun, hobby yang sama karena memang sering bersama mengasahnya, yakni design grafis membuat kami bersama kembali. saya berterimakasih pada perkembangan teknologi. jujur saja, dia temen paling dekat bagi saya, meski begitu pada tahun-tahun sebelum teknologi sepesat sekarang. dia adalah teman yang paling susah dihubungi. susah banget deh pokonya. kalau mau main, kita janjian dulu.. hihi..

kadang, saya udah nunggu lama di warnet, hanya sekedar browsing bareng. dia harus bantu ortunya dulu. meski begitu tetep datang, salutnya, dia jalan kaki lewatin 3 desa. Masya allah, terharu memang kenangan dulu. semoga dia tetap dalam lindungan Allah swt dalam setiap langkah hidupnya. aamiin ya rabbal'alamiiin..

syukron dan faruq syukron dan faruq
syukron dan faruq syukron dan faruq
syukron dan faruqanan dan iswa

Dalam perjalannya, susah untuk berkreasi sendiri akhirnya saya kembali temukan sosok yang juga berpengaruh dalam hidup saya, yakni iswa sebagai adik saya sendiri dan anan sebagai teman semasa SMA sampai sekarang ini. Alhamdulillah di bulan syawwal yang mulia, kita bisa bertemu bersama untuk sekedar sharing pengalaman dalam berbagai hal, dan tentunya untuk menyusun planing kedepan dalam menyambut masa dewasa kita. semoga kita semua menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Aamiin ya rabbal"alamiin..

anan dan iswa anan dan iswa
anan dan iswa anan dan iswa