Sudah kuputuskan

10/31/2017 3 Comments
Oleh Megita Rubiana Sabella

sudah-kuputuskan-jurnal-kehidupan

“Aku ingin kita berdua putus.”

“Hah? Maksudmu?” Malam ini udara di luar tidak terlalu dingin, tapi jari-jemariku mendadak menggigil. Gemetar, sesekali kuremas celana jeansku untuk menghilangkan rasa yang tak karuan ini. Jantungku semakin berdegup kencang ketika Rio, kekasihku, terus melontarkan pertanyaan demi pertanyaan yang sama kepadaku. “Hei, Mika! Coba jelaskan padaku!” Lidahku kelu. Rasanya sulit menjelaskan semua hal ini. Aku ingin putus dengan Rio, karena hubungan ini memang permainan. Aku ingin mengatakan ini kepadanya. Namun kegelisahanku mengalahkan semuanya.

“Dasar! Aku sedang bercanda tadi. Hahaha.” Gelak tawa yang kureka sedemikian rupa agar Rio tidak melihat gerak-gerik kebimbanganku saat itu membuatku semakin sakit. Rasanya bukan hanya aku yang kebingungan malam itu, tapi Rio pun sepertinya merasakan hal yang aneh dari sikapku ini. “Aku tidak suka lelucon semacam ini, Mika.” Rio memalingkan muka nya. Hatiku semakin tak karuan. Sejak pertama aku sudah bimbang dengan pernyataanku untuk putus dengan Rio, namun dengan tanpa pikir panjang aku mengatakannya dengan jelas. Aku mencoba untuk meleburkan suasana dengan melemparkan candaan kepada Rio. Dia sedikit marah, namun bukan itu yang kupedulikan. Aku lebih marah kepada diriku sendiri yang tidak tegas ini. Aku sangat menyesal.

“Maafkan aku ya. Hubungan kita sudah cukup lama Rio, jadi aku berniat untuk sedikit memberikan candaan hangat. Kurang lebih begitulah.” Rio menekuk mukanya. Asam. Namun aku tidak peduli. “Tapi aku penasaran tentang pendapatmu jika aku benar-benar ingin putus denganmu bagaimana?” Rio melihat mataku dengan tatapan yang tajam. Namun sebisa mungkin aku bersikap santai meskipun saat itu degupan kencang menghampiriku lagi.

“Aku sudah bilang padamu, kalau aku tidak suka lelucon semacam ini.” Rio kekeh dengan perkataan sebelumnya. Aku menghela napas, mencoba mencari celah agar Rio bisa memberikanku sebuah gambaran ketika esok atau entah kapan aku bisa mengatakan bahwa aku akan putus dengannya.

“Aku bilang kan cuman penasaran. Tidak masalah kan kalau kamu hanya mengutarakan pendapat saja?” Kulihat Rio melirik kearahku. Aku tersenyum. Mencoba memastikan bahwa aku memang hanya penasaran saja, meskipun kenyataannya dengan pendapatnya itu aku bisa mengatur strategi baru untuk memutuskan Rio nanti.

“Ya sudah kalau kamu memaksa. Kalau kenyatannya tadi kamu memang ingin putus denganku, aku pasti akan marah.” Rio melipat tangannya, sepertinya dia ingin menunjukkan padaku bahwa saat itu ia serius dengan perkataannya.

“Rio, bukannya tadi juga kamu marah?”

“Ya! Tapi kalau kamu benar ingin putus denganku, aku akan marah lebih dari ini! Kita sudah berpacaran selama lima tahun, Mika! Coba kamu pikirkan tentang kisah kita bersama selama ini!” Aku bisa merasakan nada bicara Rio yang menggebu-gebu. Mencoba menjelaskan dan menyuruhku untuk berpikir kembali tentang keputusanku untuk putus dengannya. Namun nihil, semua perkataannya tadi hanyalah sebuah hembusan napas tanpa arti. Lima tahun berpacaran? Kenangan kita bersama? Akan lebih terasa menyakitkan lagi, jika hubungan ini terus berlanjut hingga berpuluh-puluh tahun namun tak ada kepastian untuk menikah. Usiaku saat ini 25 tahun dan usia Rio 29 tahun. Bukankah itu sudah cukup untuk membicarakan hal yang pasti? Seperti menikah. Bukan seperti ini. Menghabiskan waktu selama lima tahun mungkin akan berlanjut semakin lama lagi dengan bermain-main untuk membuat kenangan bersama. Apa artinya sebuah kenangan ketika semuanya harus kandas karena sebuah ketidakpastian. Aku ingin menikah.

“Oh begitu. Tapi Rio, bukankah lima tahun kita berpacaran itu sudah cukup?”

“Cukup? Maksudmu?”

“Ya, cukup, untuk.. menikah.” Suaraku mengecil. Aku menunduk melihat sepatu yang dipakai Rio. Rio belum juga menjawab perkataanku tadi.

“Aku belum siap.” Suara Rio melemah. Nada suara menggebu-gebu yang kudengar tadi rasanya hilang di telan waktu.

“Alasan yang klise.”

“Aku belum siap!” bentak Rio.

“Lalu kapan kamu akan siap?!” Tak terasa pipiku basah dengan air mataku yang mengalir deras. Pikiranku melalang buana ketika aku dan Rio merayakan hari jadi ketiga kita berdua berpacaran. Aku menanyakan hal yang sama kepada Rio. Kapan dia akan menemui ayahku, untuk melamarku. Mungkin bagi Rio saat itu usia hubungan kami masih muda. Tiga tahun berpacaran dia mengatakan masih belum cukup untuk ke jenjang yang lebih serius. Kuiyakan saja saat itu dan kuberi kepercayaanku pada Rio. Mungkin memang harus membutuhkan waktu untuk memantapkan hati menuju jenjang pernikahan, pikirku saat itu. Namun saat ini, niat baikku yang tertutup nafsu Rio sudah tak bisa kubendung lagi. Kenyataan yang sebenarnya bahwa aku ingin memutuskan hubungan ini dengan menikah tak bisa kutahan lagi.

Seminggu sebelum aku memantapkan hati untuk memutuskan hubunganku dengan Rio, aku bertemu dengan teman lamaku saat di SMA dulu, Kana. Aku bertemu dengan Kana di sebuah Mall saat aku sedang berbelanja sendirian. Betapa terkejutnya aku melihat Kana untuk pertama kalinya lagi setelah sekian lama tidak pernah bertemu. Aku dan Kana memang cukup dekat. Kami berteman sejak masuk bangku SMA, di kelas yang sama. Meski saat SMA dulu, aku dan Kana tidak pernah sama sekali membicarakan tentang laki-laki. Jujur saja, aku sungkan jika harus membicarakan laki-laki yang aku suka pada Kana. Dia tipe orang yang pendiam, pemalu, bukan, lebih tepatnya pintar memposisikan diri. Tak pantas rasanya jika aku menyebut Kana gadis yang pendiam ataupun pemalu, kenyataannya dia menjadi ketua osis di SMA dulu. Dia anggun dan ramah, namun juga tegas ketika memimpin rapat. Saat itu aku melihat Kana untuk pertama kalinya. Kulihat dia tengah menggendong bayi bersama seorang lelaki yang kutemui dua tahun yang lalu di sebuah pernikahan sederhananya. Kana sudah banyak berubah, bukan ke arah yang buruk namun ke arah yang bahkan lebih baik lagi dari sebelumnya. Dengan balutan jilbab berwarna biru toska dan khimar berwarna senada membuatnya semakin anggun dan cantik. Di tambah dengan kebahagiaan keluarga yang kulihat jelas di depan mataku. Banyak hal yang kuperbincangkan dengan Kana. Sesekali mengenang kembali masa-masa SMA. Bercanda bersama, dia memang Kana yang kukenal dulu. Yang setiap katanya selalu bernapaskan islami, rasanya nyaman sekali berbicara dengan dia. Di tengah pembicaraan kami berdua yang hangat, tiba-tiba Kana menanyakan sesuatu hal yang membuatku terdiam.

“Kapan mau nyusul?”

“Nyusul apa maksud kamu?” Aku pura-pura tidak mengetahui arah pembicaraan Kana saat itu. Padahal aku sudah paham betul dengan pertanyaan itu. Kapan aku menikah, kurang lebih begitu Kana menanyakan.

“Menikah.” Aku tersenyum mendengar perkataan Kana. Sesekali menghela napas panjang. Pertanyaan Kana pas sekali dengan pikiranku saat itu. Tentang kapan Rio akan menikahiku.

“Aku sudah berpacaran dengan Rio, pacarku, selama lima tahun. Tapi dia tidak pernah membicarakan tentang pernikahan ataupun hal pasti lainnya. Terkadang aku bingung harus bagaimana.” Kulihat Kana tersenyum simpul mendengar curhatanku saat itu. “Kalau kamu sendiri, bagaimana dengan suamimu? Berapa lama kamu berpacaran?”

“Aku tidak berpacaran dengan suamiku, Mika.”

“Tidak berpacaran? Kamu dijodohkan oleh orang tuamu?” Kana menggeleng. “Aku berkenalan dengan dia selama kurang lebih tiga bulan lalu langsung menikah.” Aku terkejut. Tiga bulan? Langsung menikah? Mengapa bisa?

“Kamu hanya membutuhkan tiga bulan untuk memantapkan hati dan menjadikan dia sebagai suamimu? Kenapa?” Pertanyaanku terus menyerbu Kana.

“Itulah cinta, Mika. Aku hanya mengikuti skenario yang telah Allah tunjukkan padaku. Bahwa ketika rasa cinta itu hadir maka menikahlah.” Aku masih belum mengerti apa yang dikatakan oleh Kana.

“Meskipun sekarang aku ingin sekali untuk menikah, tapi kalau hanya beberapa waktu untuk mengenalnya aku rasa itu tidak cukup, aku pikir kamu dan suamimu harus berpacaran dulu, saling mengenal, saling memahami lalu baru menikah.”

“Kamu sudah berapa lama berpacaran dengan Rio?”

“Kurang lebih lima tahun.”

“Kamu isi dengan apa lima tahun berpacaran dengan Rio?” Aku kikuk dengan pertanyaan Kana. Lima tahun berpacaran dengan Rio, apa yang kudapat? Aku bahkan tak habis pikir, waktu selama itu tak ada hal yang kuingat sedikitpun. “Mungkin kamu dan Rio merasa selama lima tahun telah menghabiskan waktu bersama. Bersenang-senang, bermain-main, bahkan mungkin terjadi sebuah pertengkaran lalu merasa sudah terselesaikan. Begitu bukan?”

“Ya begitulah Kana. Selama lima tahun ini aku telah menghabiskan waktu bersama Rio.”

“Bukankah hal itu merugikanmu Mika?”

“Merugikanku? Maksudmu?”

“Kamu menghabiskan waktu bersama laki-laki yang bukan suamimu?” Aku tertegun. “Disini wanita yang akan dirugikan Mika. Kamu menghabiskan waktu dengan laki-laki yang bukan suamimu, bersenang-senang. Kalau hidup hanya untuk bersenang-senang, maka tidak ada artinya hidup di Dunia. Kamu pernah menanyakan kapan Rio akan menikahimu?”

“Ya, aku pernah menanyakan pada Rio. Tapi dia mengatakan bahwa saat ini bukan waktu yang tepat. Dia masih membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memantapkan hatinya.”

“Begitulah, Mika. Dia masih membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bermain-main denganmu.”

“Kana, entah mengapa saat kamu membicarakan hal ini, aku sangat terpukul sekali. Bukan, aku bukan marah padamu ataupun merasa jengkel karena kamu terus mengomentari hubunganku dengan Rio. Tapi, aku merasa melakukan sebuah kesalahan. Tapi aku tidak tahu apa itu, dan mengapa aku bisa melakukan sebuah kesalahan seperti itu. Aku hanya ingin menikah, maka dari itu aku berpacaran dengan Rio untuk mengenalnya lebih jauh dan saling memahami satu sama lain. Tapi tentang waktu kapan aku menikah, aku merasa bimbang.”

“Sudah sewajarnya seorang manusia ingin menikah Mika. Karena manusia di beri sebuah perasaan nan suci oleh Allah. Tapi hanya dua pilihan saja ketika perasaan cinta itu hadir, Mika.”

“Apa itu?”

“Melampiaskan atau mengendalikannya.”

“Maksudmu sekarang aku sedang melampiaskan perasaanku?”

“Betul. Tapi caramu melampiaskan itu keliru.”

“Hah?”

“Berpacaran, kamu melampiaskan perasaanmu dengan berpacaran. Sebuah hubungan yang tak jelas arah tujuannya. Kamu merasa seperti itu kan saat ini?” Aku mengangguk, tanda mengiyakan. Sebuah hubungan yang tak jelas arah tujuannya, aku melakukannya selama lima tahun ini?

“Dengan alasan cinta, mereka berpacaran selama bertahun-tahun bahkan sampai berpuluh-puluh tahun, hanya untuk apa? Untuk saling memahami? Untuk saling mengenal? Bukan, bukan Mika, tapi untuk melampiaskan hawa nafsunya. Rasa cinta yang mereka punya tidak mereka lampiaskan dengan cara yang benar.”

“Jadi menurutmu, aku berpacaran saat ini itu adalah tindakan hal yang salah?”

“Aku harus mengatakan yang sebenarnya Mika. Karena hanya satu cara untuk melampiaskan rasa cinta, yaitu dengan menikah. Bukan dengan pacaran ataupun hubungan yang tak jelas lainnya yang hanya dapat membuat kita, para wanita merasa dirugikan. Bukan hanya wanita, bahkan mungkin lelaki sekalipun merasa perasaan mereka tak di hargai oleh pasangannya.”

“Aku pernah mendengar seseorang menikah dengan cara berta’aruf. Tapi aku merasa tidak pantas untuk melakukannya, Kana. Terlebih saat ini orang-orang menganggap bahwa sebelum menikah biasanya pasangan itu selalu berpacaran terlebih dahulu.”

“Apa orang lain akan ikut merasakan apa yang kamu rasakan?” Aku menggeleng. “Lalu, untuk apa kamu merasa terbebani oleh pendapat orang lain? Aku tidak ingin menjadi diri yang munafik, kuakui saat aku dan suamiku dulu menjalani ta’aruf atau sering kita menyebut proses pengenalan, keluargaku sempat tidak setuju. Kenapa? Tepat seperti yang kamu katakan tadi, kelaziman masyarakat atau tradisi masyarakat yang begitu melekat, sebelum menikah ya pacaran dulu. Seiring berjalannya waktu, aku menemukan sebuah arti kehidupan yang sebenarnya tentang bagaimana perasaan ini dapat dihargai. Ya dengan menikah bukan dengan pacaran, terlebih aku melihat teman-temanku yang merasa tak dihargai perasaannya saat menjalani hubungan tak jelas itu. Apakah orang lain akan ikut merasakan betapa sakitnya ketika perasaan tidak dihargai? Tidak. Apalagi untuk membantu, mereka tidak bisa melakukan apapun. Karena itu aku percaya, bahwa semua hal yang ada pada diri manusia hanya bisa kita kembalikan kepada Allah, bukan kepada orang lain. Ketika Allah menyuruh kita untuk menikah, maka menikahlah. Itu adalah hal yang terbaik untuk kita.” Aku tertegun mendengar perkataan Kana, seperti sebuah sambaran petir di siang bolong yang tiba-tiba menyambarku hingga tersadarkan bahwa saat itu aku telah berjalan di sebuah jalan yang salah. Aku menangis, Kana memberiku semangat. Rasanya perkataan Kana tadi telah menampar pipiku dengan keras, sakit memang tapi hal itu membuktikan bahwa aku masih memiliki perasaan yang harus Rio hargai. Terlebih aku telah salah menitipkan harapanku pada manusia, bukan pada Sang Maha Penyayang, Sang Maha Pemilik Cinta yang sesungguhnya, yaitu Allah. Aku baru menyadari bahwa sejak awal aku sudah memilih jalan yang salah, mungkin ini adalah peringatan dari Allah bahwa seharusnya aku tidak memilih jalan ini. Dan Allah menunjuk Kana untuk menjelaskannya padaku. Aku menangis sejadi-jadinya, kerudungku basah oleh air mata yang tak bisa kubendung lagi. Aku memeluk Kana.

“Aku akan putus dengan Rio.” Aku terus mengatakan hal itu berulang kali. Sampai saat aku sudah merasa tenang, kuusap air mata yang membasahi pipiku dan mengucapkan rasa terima kasihku pada Kana. Dan begitulah Kana, sifat rendah hatinya membuatku semakin sayang kepada sahabatku yang satu ini.

Dan saat ini dengan berlinangan air mata telah kubuktikan perkataanku pada Kana, aku akan putus dengan Rio. Emosiku yang meluap-luap mengalahkan rasa takutku.

“Jadi kapan kamu akan siap untuk menikahku?!” Rio terbelalak dengan sikapku saat itu, semuanya jelas kulihat dari raut wajahnya yang panik.

“Soal itu.. aku juga tidak tahu.” Hatiku semakin sakit mendengar jawaban Rio. “Baik, jika itu jawabanmu, maka tegas kukatakan padamu bahwa hari ini aku ingin putus denganmu. Ini bukan lagi sebuah lelucon belaka, Rio! Aku serius ingin putus denganmu!” Rio terkejut dengan perkataanku. Aku menatap tajam Rio. “Sadarlah Mika! Ada apa denganmu?”

“Sadar? Ada apa denganku? Bukankah pertanyaan itu lebih pas aku pertanyakan kepadamu? Kapan kamu akan sadar bahwa perasaanku padamu itu bukan untuk dipermainkan! Dan ada apa dengan sikapmu yang terus menyuruhku untuk tetap menjalani hubungan yang tak ada arah tujuannya ini?!”

“Sudah kubilang padamu, bahwa aku belum siap. Jika aku sudah siap, pasti aku akan menikahmu.”

“Butuh waktu berapa lama kamu akan siap untuk menikahiku? Sepuluh tahun? Lima belas tahun? Atau kamu hanya membual untuk menujukkan bahwa kamu itu seseorang yang tidak memiliki komitmen?!” Kata-kataku semakin menajam. Emosiku meluap, namun sebisa mungkin aku mengendalikannya. Kulihat raut wajah Rio merah padam, seperti tersinggung dengan perkataan tadi. Seseorang yang tidak memiliki komitmen, rasanya perkataan itu yang mewakili kekesalanku saat ini. Namun detik waktu mengantarkan kami berdua pada keheningan sesaat, Rio tak kunjung angkat bicara setelah kulontarkan perkataan tajam tadi.

“Setidaknya tunggu sampai aku menemukan pekerjaan yang layak. Menikah itu bukan perkara yang mudah. Aku perlu mempersiapkan rumah untuk beristirahat, uang untuk memenuhi kebutuhan kita dan hal lainnya. Aku masih belum siap untuk itu.”

“Aku? Apa kamu akan menikah dengan dirimu sendiri?” Aku mengela napas panjang. “Rio, selama lima tahun aku berpacaran denganmu, aku tidak pernah melihatmu mempersiapkan hal itu. Katakan yang sebenarnya jika perkataan tadi itu salah. Apa kamu pernah mempersiapkan hal itu?” Rio tidak menjawab. Hembusan napasnya terdengar berat. “Aku tidak ingin menuntutmu harus begini dan begitu untuk menjadi suamiku. Aku hanya ingin kamu mau menikahiku karena Allah dan melanjutkan kehidupan bersama untuk meraih ridho Allah. Itu saja.”

“Aku masih belum siap.” Lagi-lagi Rio mengatakan hal itu padaku. Aku semakin geram. Setelah perkataanku yang sangat panjang, dia hanya menjawabnya seperti itu. “Kalau begitu, aku ingin memutuskan hubungan ini denganmu.” tegasku.

“Baiklah, jika itu kemauanmu.” Aku melihat Rio, raut wajahnya pun tak lagi merah padam seperti tadi. Entah apa yang membuatnya menjadi berubah seperti ini. Tak lagi arogan seperti tadi. “Tapi, aku ingin menanyakan satu hal padamu, Mika.” Kuperhatikan dengan seksama saat Rio mengatakan hal itu. “Apa yang membuatmu ingin menikah?” Dengan santainya Rio menanyakan hal itu padaku. Emosiku mulai menguap lagi. Pertanyaan bodoh macam apa ini, pikirku. Semua orang ingin menikah, melampiaskan perasaannya pada sebuah ikatan pernikahan. Terlebih atas nama agama, semua itu sudah jelas tak perlu dipertanyakan lagi.

“Kamu itu aneh, Rio. Bukankah pertanyaan itu sudah jelas jawabannya? Yang menjadi persoalan saat ini adalah mengapa kamu masih tetap ingin menjalani hubungan ini?” Rio menghela nafas panjang. Tangannya ia lipat di depan dada dan menatap tajam ke arahku. Tak bisa kuterka apa maksud dari tatapan Rio saat itu. Aku mengalihkan pandanganku.

“Mungkin kita memang tidak bisa bersama.” Aku melihat Rio lagi. “Entah apa yang terjadi padamu, tapi saat ini kurasa kamu telah berubah, Mika. Kita tidak lagi satu pemikiran.” Kuakui semua yang dikatakan Rio saat itu. Aku berubah. Prinsipku telah berubah. Aku pun tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi secepat ini. “Mungkin kita memang harus mengakhiri hubungan ini.” Rio melangkahkan kakinya menghampiri motor dan menaikinya. Setelah memakai helm, ia berbalik menoleh ke arah ku.

“Akan kuantar kamu pulang, dan mungkin ini terakhir kalinya aku akan bertemu denganmu.” Aku mengernyitkan kening, bingung. “Maksudmu?” Rio berbalik menghadap ke depan. “Besok aku akan pergi ke kota, untuk mencari kerja.” Aku semakin bingung dengan perkataan Rio. “Lalu kuliah mu?” Rio menoleh ke arah ku. “Berangkat kuliah lalu langsung pulang ke sini rasanya melelahkan juga, kuputuskan untuk menyewa kamar kos disana. Lagipula, alasanku pulang pergi kuliah hanya karena ingin bertemu denganmu, lalu setelah ini aku tidak mempunyai alasan untuk tetap berada disini.” Aku mengangguk, tanda mengiyakan. “Ayo, naik.”

Aku belum juga menaiki motor Rio, “Mungkin aku akan naik mobil umum saja, Rio.” Rio melihatku. “Ya sudah kalau begitu. Hati-hati, maaf tidak bisa mengantarmu sampai pulang. Assalamualaikum.” Tak banyak bicara Rio langsung menggas motornya dan menghilang dikejauhan tertutupi gelap gulitanya malam.

Berakhirlah sudah. Semua yang ingin kukatakan pada Rio sudah tersampaikan. Sering kumendengar cerita dari teman-temanku ketika putus dengan kekasihnya, rasa sedih, kecewa, marah, menyesal semuanya seperti tercampur aduk. Tapi bagiku, semuanya indah, lega dan aku bahagia. Sama seperti langit malam itu, cerah, bertabur bintang di tengah hitam legamnya langit malam. Dan semuanya di mulai esok, akan kutata kembali kehidupanku yang hancur oleh nafsu duniaku. Akan kucari, arti kehidupan yang sebenarnya bersama tekad yang kumiliki, bersama sahabat terbaiku, Kana, yang akan selalu membimbingku dan bersama Dia, Sang Maha Segalanya yang mampu membolak-balikan hati manusia sehingga kini aku mengerti dengan semua yang kulakukan dulu adalah keliru. Selamat tinggal Rio, semoga kelak kamu akan mengerti bahwa cinta yang kita berdua miliki tak hanya cukup dengan hubungan berpacaran saja, tapi bersumpah di depan wali dan saksi adalah bukti sebenarnya dari cinta yang Dia berikan pada masing-masing hati.

Sekolah Tahfizh Plus Khoiru Ummah : Upaya Membentuk Umat Terbaik

10/30/2017 Add Comment
-Syukron Fadillah | Islamic Teens Inspirators-

stp-kuningan1-jurnal-kehidupan

Disaat generasi muda hari ini terus menerus digempur dengan tayangan-tanyangan tak mendidik, pergaulan bebas, narkoba, budaya barat yang hedonis, dan lain sebagainya. Sekolah Tahfizh Plus Khoiru Ummah menjadi solusi yang tepat untuk membentengi generasi muda kita yang hari ini dijajah dari berbagai aspek.

Penjajahan itu kian hari kian masif, dan dengan sadar akan menghancurkan bangsa Indonesia. sudah saatnya penjajahan gaya baru (neoliberal) ini harus kita lawan segencar-gencarnya. jangan sampai dibiarkan. Maka kita dan seluruh elemen masyarakat harus bersinergi untuk mencari solusi sesuai yang islam ajarkan untuk kebaikan negeri ini. dan solusinya adalah dengan membentuk generasi kita menjadi generasi yang hafal serta faham Alquran.

stp-kuningan-jurnal-kehidupan

Dengan membentuk generasi hafidz-hafidzah maka generasi muda bangsa ini akan dapat menjadi pemimpin yang meneladani Nabi Muhammad SAW. Namun, bila generasi muda indonesia dibiarkan saja bergecimbung dalam dunia televisi yang jelas-jelas merusak moral, atau dengan pergaulan yang tak kenal batas, maka jelaslah Indonesia akan hancur dan tinggal sejarah. inilah yang dicita-citakan penjajah.

Untuk itu, generasi muda yang kompeten dalam menghafal Alquran sangat diperlukan guna melawan penjajahan gaya baru ini, dimana penjajahan gaya baru ini didesign dengan sistematis untuk membunuh karakter. khususnya karakter anak bangsa. agar mereka para penjajah dapat dengan mudah mengambil kekayaan alam indonesia untuk diekspoitasi.

Generasi muda yang luar biasa juga sangat diperlukan untuk membawa negeri kita menjadi negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. So, mari bersama kita wujudkan itu dengan islam dan generasi islam.

Dokumentasi Sekolah Tahfizh Plus Khoiru Ummah-Kuningan, 29-Oktober-2017

SENJA BERJINGGA : Ketika Matahari Tenggelam

10/29/2017 Add Comment
Oleh Megita Rubiana Sabella

senja-berjingga-ketika-matahari-tenggelam-jurnal-kehidupan

Rasanya sudah terlampau jauh aku menjadikannya sebagai seseorang yang terus aku pikirkan selama tiga tahun di SMA. Hanya karena aku merasa bahwa sikapku ini kurang baik terhadap perasaannya. Seseorang pernah berkata padaku bahwa untuk seorang gadis yang sedang di sukai oleh orang lain, sikapku ini terlalu acuh. Meski sedikit kutepis prasangka itu, namun sepertinya aku memang harus lebih menghargai dia yang pernah menyatakan perasaannya padaku. Semua ini berawal saat aku duduk di bangku kelas satu, ketika bel pulang berbunyi, semua teman-temanku sudah pulang namun Tio menahanku. “Aku menyukaimu, Olive.” Ditengah langit berhias jingga, dia mengatakan kata-kata itu padaku. Aku terkejut, lidahku kelu, jantungku berdetak tak karuan. Perasaanku berteriak untuk segera menjawab pernyataannya itu. Namun jauh dalam lubuk hatiku, terdengar suara lirih yang membuatku tertegun.

Jika kamu menerimanya, kamu dan dia akan menjalin sebuah hubungan berpacaran. Siapkah dirimu menjadi seorang perempuan yang akan menjalin hubungan dengan laki-laki yang sama sekali tidak kamu kenal? Bukankah perihal cinta dan kasih sayang itu biasanya mereka persiapkan untuk dirinya di masa depan? Lalu bagaimana kamu akan menjelaskan hubunganmu ini nanti? Dan untuk menikah, kamu bahkan belum bisa menyelesaikan tugas sekolahmu dengan baik. Ini bukan saatnya membicarakan cinta, kasih sayang apalagi sebatas perasaan yang terkadang hilang begitu saja.

Kamu masih menolak? Baiklah, mungkin jika Tuhanmu yang memerintahnya mungkin kamu akan menerimanya. Roda kehidupan dunia yang kamu jalani tak lepas dari pengawasan-Nya, kamu tidak akan bahagia jika melanggar perintah-Nya. Bahkan untuk mengutarakan perasaan cinta, jika tak kamu utarakan dengan cara yang benar menurut pandangan-Nya, maka kamu akan tergelincir oleh kebahagiaan dunia yang tak lebih dari ilusi semata.

Aku menghela napas, entah siapa yang mengatakan semua hal itu padaku. Namun hatiku tak bisa menyangkalnya bahwa aku memang tidak bisa menerima pernyataan ini. Terlalu cepat untuk memulai sebuah hubungan percintaan, terlebih dengan hubungan seperti ini akan membuatku semakin tak bisa bebas melakukan hal apapun. Kekasih? Siapa dia? Mungkin perihal jodoh adalah kuasa Allah, tapi tekadku mengatakan bahwa tidak ada kebahagiaan yang bisa didapatkan dari kemaksiatan. Bismillah, aku akan menolaknya.

“Sebelumnya terima kasih atas pernyataanmu, Tio, aku lebih suka kamu menyukaiku daripada membenciku, tapi untuk selebihnya aku tidak bisa melakukan apapun. Suka dan tidak suka hanyalah sebuah kata-kata, maka kupikir aku menyukaimu, menurut pemikiranku.” Kusudahi pembicaraan empat mata ini dan meninggalkan Tio. Sejak saat itu aku terus memikirkan apakah Tio akan mengerti atau tidak.

Setelah pernyataannya itu, aku dan Tio berteman seperti biasa sampai saat kelas tiga ini. Bahkan komunikasi antara kami berdua masih sama seperti dulu. Seperti tak terjadi apapun, meskipun aku yakin bahwa tidak ada penolakan yang halus, tak membekas sedikitpun, namun aku percaya bahwa ini adalah yang terbaik. Bahkan setelah itu aku dan Tio sering bertemu dalam satu kelompok pelajaran, tentu kami berdua banyak berdiskusi.

“Kamu menolak Tio, tapi Tio bahkan tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Dia masih menyukaimu, Olive.” perkataan Lala saat jam istirahat di sebuah kantin itu sedikit membuatku terkejut, karena sepenglihatanku Tio sepertinya sudah tak ada perasaan lagi denganku.

“Dan kamu Olive, sikapmu itu terlalu kejam untuk dia! Tidak bisakah kamu sedikit tersenyum ketika Tio melihatmu?” Ufa menambahkan, aku semakin terpojok saat itu. “Aku hanya bersikap biasa kepada Tio, kurasa Tio pun bisa menerimanya. Aku tidak mau dia merasa memiliki harapan apapun, aku hanya ingin dia menyadari bahwa hubungan berpacaran bukanlah cara melampiaskan perasaan yang tepat.”

Ufa dan Lala menghela napas panjang, aku bingung dengan mereka berdua. “Kamu itu terlalu kaku, Olive. Anak muda jaman sekarang itu sudah biasa dengan pacaran.” tegas Ufa.

“Iya betul, aku dan Ufa juga sudah punya pacar sekarang, kenapa kamu tidak menerima Tio saja? Setelah itu kita bisa berbagi pengalaman tentang hubungan berpacaraan kita bertiga kan?” Aku hanya tersenyum mendengar pendapat dari teman-teman yang memang sangat dekat denganku sejak kelas satu SMA.

“Maaf aku tidak bisa seperti kalian, aku hanya mempunyai pemikiran yang berbeda tentang hubungan ini. Aku ingin langsung menikah.” Lala dan Ufa tiba-tiba menatap tajam kearahku. “Kita masih kelas tiga SMA, Olive sadar! Kamu mau nikah muda?” Aku tertawa kecil. “Bukan sekarang maksudnya, tapi nanti kalau sudah ada calonnya. Untuk pacaran, aku tidak terlalu tertarik dan juga..“

“Dilarang oleh agama?” Ufa memotong pembicaraanku.

“Eh?” Aku melihat kearah Ufa.

“Iya, aku mengerti kok. Mungkin seharusnya aku yang mengikuti kamu, bukannya memaksamu untuk sama seperti kita berdua. Maaf, Olive, aku belum bisa sepertimu.” Suara Ufa terdengar lirih. “Aku dan Dani sudah berpacaran selama dua tahun, aku terlalu naif jika harus memutuskannya sekarang. Untuk jadi sepertimu itu sulit Olive.” Lala menundukkan pandangannya, aku tersenyum. Entah kapan mereka berdua menyadari bahwa cahaya Allah sudah terpancar dari dalam hati mereka berdua. Aku selalu mendo’akan mereka berdua untuk segera keluar dari lingkaran kegelapannya. Aamiin.

“Semangat! Nanti, kalau kalian berdua putus dengan pacar kalian, hubungi aku ya?” Aku tertawa kecil.

“Olive kejam!!” Aku tertawa bersama mereka berdua, rasanya indah sekali jika bersama-sama dengan mereka. Meskipun aku dan mereka tak satu pemikiran, tapi aku dapat memahami bahwa sebenarnya mereka menyadari apa yang mereka lakukan. Ini hanya masalah waktu, kapan mereka bisa meredam ego dalam hati dan menerima fitrah mereka sebagai seorang manusia yang ingin selalu dihargai perasaannya.

Hari-hari berikutnya, aku tak bisa membayangkan bahwa hubunganku dan Tio setelah pernyataannya itu akan menjadi serumit ini. Terlebih Ufa dan Lala terus memarahiku karena sikapku terlalu acuh terhadap Tio. Aku seperti seseorang yang tidak bisa menghargai perasaan orang lain, aku bingung. Kuambil cara paling tepat yaitu dengan sedikit lebih sering berbicara dengan Tio, meskipun dalam lingkup diskusi ketika belajar saja, karena aku tidak bisa melakukannya lebih dari itu. Semakin lama, aku merasa bahwa aku sering memikirkan Tio. Bukan karena aku mulai menyukainya, tapi karena mengkhawatirkannya. Tentang apakah sikapku ini tidak membuatnya sakit hati atau tidak? Atau tentang apakah sebenarnya dia sudah tidak memiliki perasaan lagi padaku? Jika benar, aku ingin mengetahuinya lebih awal, agar aku bisa menjalani kehidupanku seperti dulu lagi, tak lagi terikat dengan perasaan orang lain.

“Sudah kubilang kalau Tio itu masih menyukaimu! Lihat saja dari sikap dan tatapan matanya! Kamu itu tidak percaya sekali padaku!” Ufa menceramahiku begitupun dengan Lala.

“Aku takut semua itu hanya prasangka kalian saja.”

“Aku yakin seratus persen, Olive!” Dengan cepat kuambil kesimpulan bahwa Tio masih menyukaiku, meskipun aku masih ragu. Jika benar begitu, aku harus lebih memperhatikan sikapku agar tidak menyakiti Tio. Kutekadkan semua ini dalam hatiku.

Keesokan harinya, hujan pun mulai turun ketika jam istirahat. Sayangnya aku tidak membawa payung hari itu. Saat bel pulang berbunyi, aku hendak menunggu hujan reda di dalam kelas setelah Lala dan Ufa pamit untuk pulang karena mereka berdua pulang satu arah, kupikir hanya aku saja yang belum pulang, ternyata seorang laki-laki yang mendadak saja membuatku terkejut masuk ke dalam kelas.

“Olive?”

“Tio?” Ternyata Tio masih ada kegiatan ekstrakurikuler. Kikuk, itu pasti. Aku tidak berniat untuk membicarakan apapun, terlebih hanya aku dan Tio saja yang berada di dalam kelas itu, rasanya aku ingin cepat pulang karena takut terjadi hal yang di luar dugaanku. Tio duduk dibangkunya, aku semakin bingung dengan keadaan seperti ini. Hujan di luar mulai mereda, tak habis pikir lagi, aku pun segera beranjak dari tempat dudukku dan pergi meninggalkan Tio. Namun belum juga aku keluar melewati pintu kelas, Tio memanggilku. “Olive, tunggu!” Jantungku berdegup kencang. “Ada apa?” Aku menoleh.

“Sebenarnya ada yang ingin aku katakan padamu.”

“Apa itu?”

“Aku masih menyukaimu dan akan selalu menyukaimu. Mungkin semua ini terdengar konyol, karena kamu sudah menolakku dulu. Tapi aku benar-benar tidak akan bisa bersama dengan perempuan lain.” Saat itu aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kudengar.

“Terima kasih, aku yakin kamu mengatakan itu sebagai seorang teman. Aku pulang duluan ya.” Tio tersenyum, aku pun segera pergi meninggalkannya. Namun tetap saja, dengan begitu aku harus bisa lebih menjaga sikap dan jarak terhadap Tio. Meskipun sulit, akan kuusahakan untuk tetap bersikap seperti biasa saja.

Lagi-lagi setelah Tio mengatakan hal itu padaku, aku lebih sering memikirkannya. Rasanya tak karuan, tak bisa kujelaskan dengan rinci tentang apa yang selalu aku pikirkan. Tapi benang merahnya aku sudah paham. Aku tidak bisa melakukan apapun dengan perasaan Tio padaku, tapi aku tidak ingin menyakitinya juga. Sungguh dilema, tapi untuk menerimanya sekalipun itu bukan pilihan yang tepat. Aku hanya berharap suatu saat waktu akan memberiku jawaban yang jelas tentang apa yang sebenarnya harus kulakukan.

Keesokan harinya, suasana kelas menjadi gaduh. Aku belum bisa menemukan penyebab kegaduhan ini, namun tiba-tiba kudengar nama Tio.

“Tio dan Putri sudah berpacaran selama dua minggu.” Aku terkejut sekaligus bingung dengan berita yang membuat gaduh kelasku. Entah hanya berita palsu ataupun memang benar adanya aku ingin mengetahui yang sebenarnya. Karena jelas hal ini membuatku semakin bingung, terlebih kemarin Tio mengatakan dengan tegas tentang perasaannya, rasanya tak ada yang bisa kupercayai saat ini.

Dengan berita yang beredar itu, aku semakin memikirkan Tio. Ingin kutanya padanya tentang semua yang membingungkan ini, tapi untuk apa? Jika benar Tio sudah tak ada lagi perasaan padaku, bukankah lebih bagus? Aku tidak harus lagi memikirkan bagaimana aku harus bersikap. Namun, hidup di tengah keragu-raguan dan ketidakjelasan seperti ini memang tidak menyenangkan.

Sepertinya Allah mengetahui isi hatiku saat ini, tentang kejelasan dan kesimpulan dari semua ini. Dengan takdir Allah, waktu menuntunku pada sebuah kejelasan yang sudah cukup membuatku mengerti. Di bawah langit yang sama, dengan hiasan jingga yang bertaburan di atas langit, aku melihat Tio dan Putri melintas dihadapanku. Tangannya menggenggam tangan Putri, bibirnya tak habis-habisnya tersenyum, lalu tertawa bersama. Dia, Tio, laki-laki yang mengatakan padaku bahwa akan selalu menyukaiku beberapa hari yang lalu kini berjalan dengan bahagianya bersama perempuan lain. Sebenarnya bukan tentang bagaimana perasaanku melihat mereka berdua, tapi tentang bagaimana aku merasa bersyukur atas pilihanku dulu. Lala dan Ufa tak henti-hentinya menghiburku seolah-olah aku merasa sedih dengan semua hal ini. "Aku tidak apa-apa, bukankah sejak awal aku sudah menolaknya?"

"Aku pikir Tio masih menyukaimu, Olive, jadi aku berusaha untuk terus mendukungmu dengan dia." Aku hanya tersenyum. "Aku pun berpikir begitu, karena sikap Tio kepadamu seperti seseorang yang jatuh cinta, jadi.."

"Sudah, tidak apa-apa. Semuanya sudah berakhir, aku senang jika Tio tidak ada perasaan lagi padaku, dengan begitu aku tidak usah memikirkan bagaimana perasaannya lagi, aku bahagia dengan semua ini. "Aku tidak bisa mengatakan kepada mereka berdua bahwa sebenarnya Tio telah mengatakan padaku bahwa dia memang masih menyukaiku dan bahkan memperjelas perkataannya bahwa dia akan selalu menyukaiku. Aku tersenyum, bahkan terkadang tertawa tentang apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya bodoh sekali jika selama ini sibuk memikirkan bagaimana perasaan Tio, tentang bagaimana aku harus bersikap agar tidak membuat Tio sakit hati dan lain sebagainya. Aku menyibukkan diri dengan memikirkan perasaan orang lain, bahkan mungkin dia tidak pernah memikirkan itu. Namun semuanya telah terskenario dengan baik, Allah menuntunku pada sebuah kenyataan yang begitu memukulku. Bahwa jika aku memang sudah bertekad untuk menolaknya, maka pembahasannya tidak akan seperti ini. Cukup dengan pembatas, perasaan Tio adalah perasaan Tio dan perasaanku adalah perasaanku. Hanya itu, karena luka dalam hati tak ada seorang pun bisa menghindari, maka terlalu egois untukku berusaha agar Tio tidak sakit hati dengan sikapku. Meskipun dipenglihatanku, Tio seolah-olah mendorongku ke dalam jurang perasaannya, lalu meninggalkanku sendirian seakan tak ada pilihan selain masuk ke dalam jurang perasaan itu. Namun, sinar matahari di senja kala itu membuatku sadar tentang jurang perasaan yang Tio buat dan dengan tenggelamnya matahari pada sore hari itu sinarnya mengiringi langkahku untuk pergi menjauh. Hingga sampai esok pagi aku bisa menjalani kehidupanku seperti dulu lagi.

Seminar OMA | One Minutes Awareness

10/26/2017 Add Comment
Syukron Fadillah | Ilmu Hadist | semester 1 | IAIN Syekh Nurjati Cirebon

seminar-OMA-jurnal-kehidupan

Seminar yang sangat luar biasa, satu menit yang bisa merubah nasib. awalnya sih agak kurang percaya. apa bisa satu menit merubah nasib? dan ternyata sungguh keajaiban, saya di ajak mengembara pada moment yang telah berlalu tepat di penghujung tahun 2016, yaitu ketika wafatnya ibu saya.

saya di sadarkan tentang betapa pentingnya kita merubah nasib atau masa depan dengan hanya satu menit. dan satu menit itu bisa berupa perkataan orang tua, guru, sahabat, kyai, dst. sungguh luar biasa saya menjadi teringat kembali akan motivasi kuliah saya mengambil ilmu hadist.

yah saya mengambil ilmu hadist sebab dilatar belakangi oleh wafatnya ibu saya, dan saya ingin memberikan yang terbaik untuknya di surga, yaitu mahkota dan jubah kebesaran.

memang dulu ketika semasa hidup ibu, saya sering berlaku kasar terhadapnya, tak patuhi perintahnya, bahkan terkadang tak segan bersikap keras kepadanya.

namun ketika beliau telah tiada, dengan pelukan terakhirnya yang saya rasakan, itu menjadi moment untuk saya bersikap lebih baik dan memberikan yang terbaik untuknya, sebab saya tak sempat meminta maaf di dunia. maka akan saya berikan hadiah terbaik di akhirat.

terlebih ketika mengikuti seminar ini, ada sebuah kata-kata yang sangat jelas terngiang dalam telinga ini, yang membuat pikiran saya tertuju pada setiap energi positif yang terenkripsi pada kalimat itu.

"Orang gagal memiliki banyak alasan
sedangkan orang sukses hanya memiliki satu alasan
yaitu, tidak ada alasan"
-Nanang Qosim Yusuf-

maka saat itu pula saya bertekad untuk membuat satu alasan saja agar saya menjadi sukses, yaitu "tidak ada alasan" sebab merintis tangga kesuksesan itu dilihat dan dinilai dari seberapa kita bangkit, bukan dari seberapa kita jatuh.

terimakasih pada pak Nanang Qosim Yusuf (NAQOY) yang telah mengingatkan saya pada tujuan saya kuliah, dan telah memberikan berbagai motivasi yang berharga khususnya bagi saya untuk meniti tangga-tangga kesuksesan.

Kesalahan menjadi kebersamaan

10/26/2017 Add Comment
Oleh Ita Puspitasari

Kesalahan-menjadi-kebersamaan-jurnal-kehidupan

Hembus angin kian teras sejak pagi itu, menyelimuti kalbu dalam relung sanubari. jam berdetak menemani riuh keramaian saat pembagian kelas. Aku tak pernah menyalahkan keputusan yang telah menjadi kesimpulan, namun banyak yang mengeluh dan bertindak secara gegabah karena hasil tak sesuai keinginan.

Teman sekelasku bukan yang lama, karena kesimpulan membuat sebuah kesalahan. waktu terus bergulir, hari demi hari berlalu dengan cepat. namun sebuah kesalahan semakin melekat dalam perasaan.

Dulu mereka selalu berusaha mempertahankan namun pada akhirnya harus dipisahkan. aku merasa ini semua adalah yang terbaik, namun namira mengganggap ini adalah kesalahan. namira tak berharap berada dengan teman yang berbeda, ia hanya ingin satu keluarga tidak untuk menerima keluarga baru.

Aku tak mengerti apa yang ia pikirkan, sering kali adinda teman sebangkunya pun ikut menangis dengan kesalahan ini. guru yang menentukan kelas di ganti, tapi siswa yang sulit memahami. pak anton pun menjelaskan "ini bukan kesalahan, belajarlah menerima perubahan" ujarnya. namun semua siswa hanya bisa terdiam, aku benci keadaan seperti benalu dalam hidup seseorang.

Hari demi hari di penuhi canda tawa yang asing, semua sibuk dengan keegoisan dan namira terus menginginkan kesalahan ini menjadi lebih baik lagi, namun tak seperti yang dia fikirkan apa yang telah ia usahakan tak membangun kembali perasaan, ia pun terus menangis karena kelas yang tak memiliki arti kebersamaan dan kekeluargaan.

Singkat cerita, semua berubah menjadi lebih baik. semua berusaha mencintai proses dari sebuah kesalahan ini, namira mulai membuka kembali hatinya untuk menerima semua ini, ia berusaha membuat nyaman semua lingkungan barunya, ia belajar mengerti teman barunya.

Meskipun dalam hatinya tentu selalu ada kenangan dulu, namun dia tak menutup kenangan barunya. sebenarnya ini bukan hal yang menarik, tapi aku merasa kesalahan akan menjadi sebuah kebersamaan jika kita saling menerima perubahan.

“ketika kebersamaan dibangun atas dasar kesalahan dan pertentangan aku yakin suatu saat nanti akan banyak kenangan yang tak terlupakan menjadi sebuah kebahagiaan yang sederhana namun selalu memiliki makna” Ujar Haira.

Aurat Wanita | Bagian 2

10/25/2017 Add Comment
Mustanir Rasyid-03 Agustus 2017

aurat-wanita-bagian2-jurnal-kehidupan

Para wanita era sekarang masih banyak yang tidak mengetahui perkara apa itu Jilbab dan Kerudung. Maaf-maaf, masih saja banyak yang sibuk dengan sinetron dan drama-drama yang sering ia tonton sehingga lalai terhadap kewajibannya sendiri dalam menjalankan perintah Allah Ta'ala. Akibatnya, terlarutnya ia atas nama hiburan dan belum tentu hiburan itu pun membawa manfaat yang selayaknya ia habiskan waktunya tuk menabur pahala bagi diri dan sekelilingnya.

Tulisan tentang Kerudung dan Jilbab sebetulnya lebih koherensi jika yang menyampaikannya ialah wanita itu sendiri. Namun, bagi saya sendiri tidak masalah ketika saya sebagai pria mengetahui tentang hal ini untuk di share kan. Tetapi, bagi wanita yang membaca tulisan saya mengenai perkara ini, alangkah baiknya didakwahkan kembali, karena kalianlah yang memiliki hak dan lebih nyambung nantinya.

Oke, dari pada bingung dan penasaran silahkan simak tulisan berikut ini.

Pertama, perlu ditegaskan bahwa kita berpakaian tidak semata-mata menutup aurat! Melainkan harus syar'i.

Ada beberapa pendapat di kalangan ulama tentang definisi jilbab.

Ibnu Rajab mengatakan jilbab itu mala-ah (kain yang menutupi seluruh tubuh dari kepala sampai kaki yang dipakai melapisi baju bagian dalamnya, seperti jas hujan). Pendapat ini juga dipilih oleh al-Baghawi dalam tafsirnya dan al-Albani.

Ada juga yang berpendapat jilbab itu sama dengan khimar alias kerudung sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi, Ibnu Hajar, dll. As-Sindi mengatakan, “Jilbab adalah kain yang digunakan oleh seorang perempuan untuk menutupi kepala, dada, dan punggung ketika keluar rumah.” (Muslimah.or.id)

Kedua, kita harus mengetahui ayat mana yang memerintahkan perkara jilbab. Jawabannya yakni Al Ahzab: 59 yang artinya sebagai berikut.

"Hai Nabi, katakanlah kepada istri istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka." yang demikian itu supaya mereka lebih mudah Untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang." (QS al-ahzab: 59)

Asbabun Nuzul QS. Al-Ahzab: 59 tentang wajibnya Jilbab. Diriwayatkan bahwa istri" Rasulullah pernah keluar malam untuk hajat buang air, pada waktu itu kaum munafiqin menggangu mereka dan menyakiti. Hal ini kemudian diadukan kepada Rasulullah SAW, sehingga Rasul menegur kaum munafiqin. Mereka menjawab: "kami hanya mengganggu hamba sahaya." Turunlah QS. Al Azhab: 59 sebagai perintah berpakaian tertutup agar berbeda dari hamba sahaya (diriwayatkan oleh Ibnu Sa'd di dalam a Thabaqat bersumber dari Abu Malik. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Sa'd bersumber dari Hasan dan Muhammad bin Ka'bal al Quradhi).

Hadits yang datang dari Ummu 'Athiyyah ra, ia berkata:

"Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk keluar pada Idul Fitri maupun Idul Adha, baik para gadis, wanita yang sedang haid, dan yang lainnya. Adapun yang sedang haid, maka diperintahkan untuk meninggalkan shalat dan menyaksikan dakwah dan syiar kaum muslimin. Lalu aku bertanya: "Ya Rasulullah, bagaimana jika diantara kami ada yang tidak memiliki Jilbab?" Rasul SAW kemudian menjawab: "Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya." (HR. Muslim)

Dalam hadits tersebut Rasul tidak memberikan keringanan bagi perempuan yang tidak memiliki jilbab untuk keluar rumah hanya dengan sekedar menutup aurat. Beliau tetap memerintahkan untuk mengenakan jilbab.

Hadits di atas juga menjelaskan bahwa makna jilbab bukanlah kerudung, melainkan baju luar yang dipakai di luar baju rumahnya. Dalam kitab Shofwatut Tafaasir, Imam ash-shobuni, jilbab diartikan sebagai baju yang luas (wasi') yang menutupi aurat.

Dalam kitab Al-Mu'jam Al Wasit karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo: Darul Maarif) hlm. 128. Jilbab diartikan "Ats tsaubul musytamil 'alal jasadi kullihi" (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau "ma yulbasu fauqa ast tsiyab kal milhafah" (pakaian luar yang digunakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau "Al Mula'ah tasytamilu biha al mar'ah" (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).

Semoga bermanfaat, jikalau ada yang perlu diluruskan atau ditambahkan silahkan. Tulisan-tulisan seperti ini sengaja dibuat dikala remaja banyak yang nongkrong di media sosial, karena itulah saya sengaja selalu menyempatkan diri menulis demikian setidaknya tulisan ini dapat lewat dan terbaca nantinya.

Aurat Wanita | Bagian 1

10/25/2017 Add Comment
Mustanir Rasyid-02 Agustus 2017

aurat-wanita-bagian1-jurnal-kehidupan

Maraknya pelalaian terhadap perintah Allah, padahal dirinya sudah termasuk sebagai Mukallaf (Muslim yang dikenai kewajiban menjalankan perintah agama, termasuk akil baligh di dalamnya. Dikutip dari Buku Moh. Rifa'i. Risalah Tuntunan Shalat Lengkap. 2016. (PT. Karya Toha Putra Semarang: Semarang) Bab 1.

Tidak jarang aktivitas sosial media menjadi ajang mengumbar aurat dengan memajang fotonya sebagai modus atau mencari perhatian dalam hal fisiknya. Membiarkan begitu saja aurat bertebaran tanpa rasa bersalah dan dosa yang menyelimuti dirinya. Hal ini marak terjadi di kalangan remaja terkhusus bagi kaum wanita dalam perkara ini

 Asbabun nuzul QS. An Nuur: 31 tentang Khimar diriwayatkan Asma' binti Murtsid pemilik kebun kurma, sering dikunjungi wanita-wanita yang bermain-main di kebunnya tanpa berkain panjang, sehingga terlihat gelang-gelang kakinya, dada dan sanggul. Selanjutnya Asma' berkata "Alangkah buruknya pemandangan ini, maka turunlah QS. An-Nuur: 31 berkenaan dengan peristiwa tersebut yang memerintahkan kaum mu'minat menutup aurat. (diriwayatkan oleh Ibnu Hatim dari Muqatil yang bersumber dari Jabir bin Abdillah). (Shaleh, HAA. Dahlan dan MD. Dahlan, Asbabun nuzul, 1996, hlm. 356).

Dari asbabun nuzul di atas, dijelaskan bahwa gelang" kaki, dada, sanggul perempuan Arab kala itu masih terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa saat itu mereka belum memakai Jilbab.

Kemudian, dijelaskan tentang adanya hadits yang menceritakan bagaimana para muslimah bersegera menutup kepalanya, sebelumnya mereka tidak sempurna menutupnya.

Dari 'Aisyah ra, ia berkata: "semoga Allah merahmati kaum wanita yang hijrah pertama kali, ketika Allah menurunkan firman-Nya. "Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung mereka ke dadanya" (TQS An-Nuur: 31) maka kaum wanita itu merobek kain sarung mereka dan menutup kepala mereka dengannya". (HR. Bukhari)

Bagaimana dengan cerita di atas tadi? Ketika turun ayat mereka langsung taat, sami'na wa ato'na (kami dengar dan kami taat). Lalu bagaimana dengan kamu wahai muslimah? Bukankah dahulu mereka (wanita Arab) jahiliyah? Bandingkan denganmu yang sekarang islam dari lahir? Renungilah...

Dari Shafiyah binti Syaibah ra, bahwa 'Aisyah ra menuturkan wanita Anshar kemudian beliau memuji mereka dan berkata tentang mereka dengan baik. Beliau berkata "ketika diturunkan Surat An-Nuur: 31, maka mereka mengambil kain-kain Tirai mereka kemudian merobeknya dan menjadikannya kerudung."

Sekali lagi sebelum lanjut membaca. Lalu bagaimana dengan kamu wahai muslimah? Bukankah dahulu mereka (wanita Arab) jahiliyah? Bandingkan denganmu yang sekarang islam dari lahir? Renungilah...

Dari kisah di atas, bagaimana perbedaan mental para sahabiyah terdahulu dengan wanita muda sekarang?

Mirisnya di era sekarang, uang untuk membeli kerudung saja sudah bisa terbeli dan harganya tidak terlalu fantastis. Namun sayangnya, masih banyak mayoritas yang lebih mengutamakan pakaian trendi ala barat walau harus melabrak syariat bahkan tidak memperdulikan urusan agama walau harus dibeli dengan harga yang aduhai.

Padahal, makna dari pakaian yang dipakai itu apa? Dapatkah pakaiannya yang mahal dan trendi itu menyelamatkannya di Akhirat kelak? Apakah itu kebahagiaan ketika kita membelinya? Ataukah tergiur dengan adanya istilah trend?

Banyak yang sibuk mencari majalah-majalah atau search tentang model pakaian-pakaian yang lagi ngetop tapi mengabaikan bagaimana islam mengatur pakaian yang syar'i dalam kehidupannya, bahkan mirisnya lagi mereka malah mengenal asing yang namanya pakaian syar'i muslimah itu sendiri. Yang mereka kenali ialah kerudung dengan bawahan Jeans atau baju yang ketat.

Efek dari jauhnya diri dari agama ialah ibarat kita bertamasya yang berharap indah saat perjalanannya namun ujungnya tersesat di dalamnya, sehingga datanglah bala bahaya yang datang mengancamnya.

Mawar putih

10/24/2017 Add Comment
-Syukron Fadillah | Islamic Teens Inspirators-

mawar-putih-jurnal-kehidupan

Belajarlah dari bunga mawar putih, memiliki banyak penilaian namun tetap memukau dengan apa yang terkandung di dalamnya.

Terkadang disebut bunga kesedihan, sebab kerap kali melengkapi sebuah perpisahan, namun lihatlah dari sudut pandang lain.

Mawar putih adalah sebuah bunga yang pas untuk moment romance, sebab warnanya mengandung nilai estetika yang memaparkan kesucian, keindahan, dan ketulusan.

Oleh karena itu, walaupun orang lain menilai kita dengan pandangan yang berbeda, tetaplah tegak berdiri dengan pancaran aura aslimu sebagai seorang yang baik layaknya mawar putih.

Istiqomah menempuh jannah

10/24/2017 2 Comments
-Ucu Supriadi | Islamic Teens Inspirators-

istiqomah-menempuh-jannah-jurnal-kehidupan

Tetap bertahan di atas jalan-jalan kebaikan, meskipun menyakitkan, sendirian, bahkan dikucilkan sekalipun, tetaplah berdiri kokoh.

Untuk awalan, (mungkin) jalannya terpatah-patah, jatuh bangun, keseleo, namun hari berganti hari, waktu akan mendewasakan kita, menjadikan kita pribadi-pribadi yang tegar, laksana karang di dasar lautan.

Kelak, kesabaran dan keteguhan langkah kita akan abadi dalam sejarah, dikenang jutaan orang, ditangisi jutaan pasang mata, melahirkan air mata inspirasi, keringat-keringat perjuangan.

Dek, selalu terjaga dalam kebaikan.

Tips melampiaskan patah hati

10/23/2017 Add Comment
-Ucu Supriadi | Islamic Teens Inspirators-

tips-melampiaskan-patah-hati-jurnal-kehidupan

Dek, jangan sampai kalian hancur hanya karena masalah cinta, urusan lawan jenis.

Sangat berharga sekali air mata kalian jatuh hanya karena urusan seperti itu, banyak hal yg bisa kalian perbuat dan lampiaskan dari patah hati.

Lampiaskan dengan menyibukan diri dengan perubahan-perubahan, memuntahkan kekesalan melalui tulisan-tulisan inspiratif lantas dibukukan, berteriak penuh emosi melalui karya-karya fenomenal, nyanyian-nyanyian perubahan, tumbuh bersama jutaan karya, menua bersama jutaan inspirasi.

Bukan malah dengan hujatan-hujatan, teriakan-teriakan nggak jelas di dunia maya, bahkan menjadi orang-orang bebal, jahat, pendendam, dst, sekali lagi bukan dengan ini pelampiasan yang elegan.

Jika kalian benar dalam menempatkan urusan patah hati, tepat dalam pelampiasannya, bisa jadi esok lusa orang-orang yang menyakiti kalian, akan bertekuk lutut meminta maaf di kaki kalian, penuh dengan penyesalan.

Hidup itu Indah

10/23/2017 Add Comment
hidup-itu-indah-jurnal-kehidupan


terkadang kita berfikir, kenapa hidup kita hanya sebatas rutinitas? kegiatannya membosankan, tak ada yang istimewa. kalau begitu apa sebenarnya arti hidup? adakah keistimewaan dalam hidup ini? jika ada, bagaimana cara mendapatkannya?

hidup kita hanya sebatas rutinitas sebab kita tak punya tujuan hidup. kita hidup itu mau apa? nah pertanyaan ini yang dapat membuat hidup anda akan lebih istimewa, tentu saja bila sudah terjawab. hidup itu sungguh berarti, sebab hidup di dunia hanya satu kali. kelak kita akan menyesal kalau kita tidak memanfaatkan umur kita saat hidup di dunia.

maka, raihlah keistimewaan hidup dengan menjawab tujuan hidup kita! sebagai seorang muslim, tujuan hidup kita adalah meraih ridho allah dalam setiap perbuatan kita. sehingga perbuatan kita akan senantiasa bernilai ibadah dengan kualitas terbaik jika kita sendiri sadar akan tujuan hidup kita.

kenapa harus melakukan yang terbaik? sebab Allah adalah satu-satunya tujuan kita. Allah akan beri yang terbaik untuk kita jika kita beri yang terbaik untuk-Nya dalam semua ibadah kita. dengan begitu, maka hidup akan menjadi indah seindah nuansa surga yang dikisahkan oleh Allah pada wahyu yang Allah turunkan.

Bila pujian menjadi standar hidup

10/21/2017 Add Comment
-Ucu Supriadi | Islamic Teens Inspirators-

bila-pujian-menjadi-standar-hidup-jurnal-kehidupan

Bila pujian menjadi standar hidup | dapat dipastikan, hidupmu penuh dengan kepalsuan.

Padahal, pujian tak membuatmu besar | justru menjadikanmu kerdil, karena pikiran senantiasa terkuras padanya.

Mati-matian mengharap puji, tewas-tewasan angkuhkan diri | sementara lupa, insan itu hina, tak sempurna, tak layak menjunjung puji.

Ketahuilah. Pujian adalah fitnah terbesar bagi hati | sebetapapun hati itu terjaga, karena naluri akan condong padanya, dan kotorlah ia karenanya.

Berhentilah akan harap puji manusia | sekarang, mulailah Allah yang dijadikan standar, karena Allah lah sebaik-baiknya tempat pujian.

Bila pujian datang padamu, usaplah dadamu, katakan pada hatimu | segala puji hanya milik-Nya, yang Aibku masih tertutup rapat oleh-Nya.

Ibu aku rindu

10/21/2017 Add Comment
Oleh : Iswatun Inayah
(Siswa MAN 3 Majalengka | Anggota KIR-Kelompok Ilmiah Remaja)

ibu-aku-rindu-jurnal-kehidupan

Ibu, aku rindu..
Mungkin itu kalimat yang ingin ku ucapkan, hampir 1 tahun Allah pisahkan kita.
Ibu, aku rindu..
Aku rindu dengan sosokmu. Sosok yang selalu ada disisiku,yang selalu menghapus air mata ini dikala membanjiri pipi.

Penderitaan dan pengorbanan karena mengandungku selama 9 bulan tidaklah berakhir setelah kelahiranku. selama aku bertumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis, hari demi hari, penderitaanmu semakin bertambah seiring waktu.

Ibu, engkau benar-benar merelakan kecantikanmu demi anak sepertiku.
Engkau, sembunyikan rasa sakit dan deritamu dengan simpul senyum yang menenangkan hati
dengan sebuah kalimat ''Ibu,baik-baik saja nak..''
Ibu, aku rindu..
Ibu.. engkau adalah sosok yang Rasulullah sebutkan sebanyak 3 kali
Ibu.. engkau adalah malaikat tak bersayapku.


Maafkan diri ini bu..
Jika dari mulut ini pernah ada kata-kata yang menyayatkan hatimu, bak pedang yang tajam.
Maaf jika diri ini pernah memaksa air matamu keluar,  karena tingkah lakuku.
Maaf jika diri ini lebih sering memberi kesedihan dibandingkan dengan kebahagiaan.
Hanya do'a yang bisa kupanjatkan di setiap waktu
.


''Ya Allah, masukkanlah kedua orang tuaku kedalam syurga-Mu. pertemukanlah hamba dengannya. Dan haramkanlah api neraka menyentuhnya.''

Anakku Sayang

10/21/2017 1 Comment
Oleh : Mei Risna Wati
(Siswa MAN 3 Majalengka | Anggota KIR-Kelompok Ilmiah Remaja)


ANAKKU SAYANG..
Lirih perih di hatiku....
Namun tak ku tampakan kepada mu..
Aku tak ingin perpisahan manis ternoda..
Walau hatiku bergetar menjerit pilu ..
Dan tangisku berlayar sepanjang arah..
Jadi tangis berjuta umat mu..
Yang tumpah ruah basahi bumi..
Sebagai tanda kasih cinta kepada mu.. 
Aku tersenyum harum.. 

 ANAKKU SAYANG.. 
Sebagai ayah.. 
Yang di beri kesempatan mengasuh hatimu.. 
Menimang-nimang gelisah mu.. 
Saat kau bartanya tentang terangnya siang.. 
Tentang gelapnya malam.. 
Maka dalam kesendirian ku.. 
Ternyata tanpa di sadari mataku,telingaku,dan perasaanku selalu mencari mu.. 
Sampai terbayang liang lahat mu.. 
Bardua bersanding ALLAH.. 
Aku gembira namun cemburu .. 

 ANAKKU SAYANG.. 
Sebagai ayah .. 
Walau terpukul dan kehilangan..  
Namun masih bisa menjaga tangis.. 
Sungguh sedih itu masih terasa.. 
Menjajari keseharian ku...

17 tahun di dalam kuburan

10/21/2017 Add Comment
Oleh : Iswatun Inayah
(Siswa MAN 3 Majalengka | Anggota KIR-Kelompok Ilmiah Remaja)


Mungkin teman-teman disini pernah berpikir bagaimana jika ada orang tinggal didalam kuburan, akan ada pertanyaan yang terlintas dalam benak ataupun pikiran kalian, seperti:
Bagaimana ia bernafas?

Baiklah saya akan menceritakan kisah seorang pemuda yang membuat terkejut orang tuanya atas pernyataan pemuda tersebut.

Alkisah, hiduplah seorang pemuda dengan orang tuanya yang bisa terbilang orang kaya, hartanya melimpah, mobilnya belasan, kendaraan motornya puluhan, saking kayanya uangpun bertriliun rupiah.

Pemuda: ''yah,bu. sebentar lagi usiaku mencapai 17 tahun, aku punya 1 permintaan, akankah ayah dan ibu bisa mewujudkannya?''


Ayah dan ibu: ''nak,kami disini akan menuruti semua permintaanmu, jika kami mampu melakukannya.


Apasih yang tidak kami berikan kepadamu? bukankah semua yang kamu ingingkan kami berikan?''
Pemuda: ''iya,semua yang aku inginkan ayah dan ibu berikan. tapi permintaan ini berbeda dengan permintaanku sebelumnya.''


Ayah dan ibu: ''apa yang kau inginkan nak? kami akan berusaha mewujudkan apa yang kau inginkan.''


Pemuda: ''baiklah. yah, bu aku bosan hidup di dalam kuburan,hingga kini usiaku akan mencapai 17 tahun.''


Ayah dan ibu: ''nak,apa maksudmu?''


Pemuda: ''tidak yah,bu. memang sejatinya kita hidup di dunia, tapi Rasulullah mengibaratkan rumah yang tidak dibacakan al-qur'an seperti kuburan. yah,bu aku ingin kita bersama-sama menjadikan rumah ini sebenar-benarnya rumah bukan kuburan!''


Ayah dan ibu: ''nak,kami bangga punya anak sepertimu, maafkan kami yang selama ini sibuk dengan duniawi.''
''Tamat''

Dari kisah tersebut kita bisa menjawab semua pertanyaan di dalam benak kita. kuburan memanglah tanah tempat mayat di makamkan.tapi lain istilah kuburan pada cerita di atas,makna dari kata kuburan adalah sebuah rumah yang tidak ada pembaca Al-Qur'an.


Maka dari itu,marilah kita menjadikan rumah kita dihiasi dengan lantunan ayat suci Al-Qur'an.

Andai Ada Mesin Waktu

10/21/2017 Add Comment
Oleh : Lutfa Izzatur Rahmah
(Siswa MAN 3 Majalengka | Anggota KIR-Kelompok Ilmiah Remaja)


Siang ini cuaca di negaraku lumayan panas. Ah.. Tidak bukan lumayan memang, cuaca di negaraku selalu panas. Apalagi sekarang sudah memasuki waktu siang hari. Aku berjalan kaki sambil mengamati lingkungan sekitarku. huuuf… sungguh miris yang ku lihat hanyalah pohon dan tumbuhan buatan lain dari plastic entah apa tujuan pemerintah di negaraku. Namun kata ibu ku semua itu di letakan agar yang kita lihat bukan hamparan aspal dan gedung menjulang tinggi. Tapi… Aku bingung kenapa mereka tidak menanam pohon yang asli saja? Aah… aku lupa tidak ada tanah yang subur di sini. Karena terlalu asik berjalan dan berargumen sendiri. Dorrr… “Astagfirullah” aku pun menengok ke sumber suara ternyata itu Tina teman sekolahku dengan polosnya dia tersenyum. Aku pun menatapnya sambil mengangkat sebelah alis ku.

“ Tia kamu kenapa dari tadi aku amati dari belakang kau melamun terus sambil berjalan, apa sih yang kamu lamun kan?” Tanya Tina.

“Gak papa Cuma tadi itu aku sedang berfikir kenapa yang kita lihat di sekeliling kita hanya tumbuhan buatan kenapa aku tidak pernah melihat tumbuhan asli seperti yang di bahas dalam mata pelajaran IPA? pohon itu menghasilkan oksigen dan menyerap karbondioksida sedangkan di sekeliling kita hanya hmmm bisa kau lihat sendiri kan.” Ucap ku sambil menatap Tina.

“huuuuf benar juga kemana pohon-pohon hijau dulu yang selalu nenekku ceritakan? mana hujan yang selalu menemani nenekku ketika kecil bermain hujan, mana bunga bunga yang cantik yang di kelilingi kumbang dan kupu-kupu, mana air yang mengalir bersih, mana lautan yang biru? hanya ada laut dan sungai yang tercemari limbah yang ku lihat hmmm.” Ucap nya dengan raut wajah kecewa.

“bukan nya sekarang juga masih ada hujan ya ? memang nya dulu zaman ketika nenek mu kecil dia bermain hujan . bukannya hujan itu berbahaya ya? alumunium saja bisa hancur atau rusak oleh hujan?” Tanya ku bingung.

“dulu kata nenek ku hujan yang turun itu air yang sangat menyegarkan dan tidak merusak. tidak seperti sekarang hujan asam yang bisa merusak alumunium. Coba kau lihat ke atas para ilmuan membuat pelindung untuk Negara kita dari hujan asam entah terbuat dari apa pelindung itu.” Ucap tina sambil menunjuk ke langit. aku pun menatap langit, memang benar ada sebuah pelindung di sana.

“ kau tau bahkan dulu kata nenekku makanan yang di makan itu bervarian rasa dan banyak macam nya tidak seperti sekarang yang kita makan hanya pil pengenyang ini” sambung tina sambil menunjukkan tabung yang berisi pil pil pengenyang.

“Ya aku pun pernah dengar bahkan dulu dianjurkan minimal minum 8 gelas sehari tapi sekarang kita minum air itu maksimal 1 gelas sehari itu karena sulit nya mendapat kan air bersih betapa terasa lumpuhnya tenggorokan ku ini.” Ucap ku sambil mengusap leher yang tertutup hijab.

“kau benar hmmm kenapa manusia jaman dulu tidak berfikir bahwa lingkungan atau alam itu sangat penting. Mereka hanya mementingkan kemajuan dan kecanggihan teknologi dan mereka merusak alam hanya untuk membangun sesuatu. mereka tidak berfikir dampak kepada kita penerusnya . kita tidak bisa merasakan nikmatnya alam dan indahnya alam. Yang kurasakan sekarang percuma, teknologi canggih namun kita tersiksa seperti ini!”

Aku pun melihat pertama kalinya tina meneteskan air mata, ya benar kenapa menusia zaman dulu sangat egois dan tergila gila dengan kecanggihan teknologi. Kenapa mereka tidak melestarikan alam yang indah dan bermanfaat itu. Agar kita di masa depan bisa merasakan nikmatnya dan indahnya alam atau lingkunagan itu.


“andai saja ada mesin waktu ingin sekali aku datang ke zaman dulu untuk memberi tahu bahwa kita di masa depan itu tersiksa. Aku ingin menyuruh mereka untuk menjaga dan melindungi lingkungan dan alam. Agar tidak menyesal dan merugikan masa depan nanti. Yah andai… andai…. Saja ada mesin waktu.”