Cokelat (Cerpen)

Megita Rubi 6/13/2019
Cokelat 
Oleh: Megita Rubi 

cokelat-cerpen


Setelah pertemuan komunitas penulis selesai, aku segera pamit pulang karena harus berbelanja terlebih dahulu. Kika, Dimas dan Putri ternyata satu arah denganku. Kami berempat menaiki sebuah mobil angkutan umum dan pergi pulang. Aku berencana untuk turun di sebuah mini market dekat lampu merah. Setelah mobil angkutan umum ini mendekati tempat itu, “Aku juga akan turun disana.” Aku menoleh kearah Dika. “Kamu juga akan berbelanja?” tanyaku. Dika mengangguk. Akhirnya kami berdua berpisah dengan mereka disana.

Dimas Angkasa. Dia adalah seorang lelaki berusia 20 tahun yang aktif di bidang kepenulisan. Aku mengenalnya saat bertemu di komunitas penulis ini. Menurutku dia lelaki yang baik, sopan dan bijaksana. Dia sangat tahu bagaimana seorang lelaki harus bersikap, terlebih dihadapan perempuan. Hingga tanpa sadar saat ini aku mengaguminya.

Setelah itu kami berdua masuk ke dalam mini market. “Ana, kamu suka cokelat?” tanya Dimas.

“Suka.” jawabku. Dimas tersenyum. Aneh, batinku. “Dimas, aku kesini dulu ya.” Dia mengangguk. Akhirnya kami berpencar untuk mencari barang yang akan kami beli.

Keripik kentang, susu cokelat, roti keju, kopi susu, mie instan.. aku terus mengelilingi mini market ini dari sudut ke sudut. Tepat beberapa menit berlalu, tiba-tiba Dimas memanggilku dari kejauhan.

“Ana, aku pergi duluan ya, assalamu’alaikum.” ucapnya sambil melambaikan tangan kearahku. Aku tersenyum.

“Ya, wa alaikumussalam.” Aku kembali mencari barang-barang yang kubutuhkan. “Kurasa ini sudah cukup.” Kubawa barang belanjaanku ke tempat kasir. Setelah kasir memberikan uang kembalian, aku hendak pergi namun beberapa detik sebelum itu tiba-tiba saja dia menahanku. “Maaf, Mbak,” ucapnya. Aku menoleh.

“Ya?”

“Ini ada barang titipan dari teman Mbak yang tadi. Dia menyuruh saya untuk memberikannya pada Mbak. Silahkan.” Aku terkejut melihat sebungkus cokelat yang kasir itu sodorkan kepadaku. Dari Dimas kah?

Aku masih mematung di depan kasir, perlahan kuambil cokelat itu. “Terima kasih.” Aku melangkah keluar dari mini market ini dan meninggalkan semua yang ada di dalam sana. Namun pikiranku masih memikirkan sosok lelaki yang beberapa menit sebelumnya datang bersamaku ke dalam mini market itu, lalu secara tiba-tiba dia memberiku sebuah cokelat. Terlebih menitipkannya pada seorang kasir, apa maksud dari semua itu? Aku masih tidak mengerti.

Sejak cokelat itu ada dan menghiasi laci di kamarku, orang-orang rumah sibuk mempertanyakannya. “Cokelat siapa ini, Kak?” tanya adikku, Bagas.

“Entahlah. Jangan dimakan.” jawabku. Sudut bibir Bagas terangkat. “Pemberian orang ya?” Aku tidak menjawab pertanyaannya. “Kalau sampai Kak Fafa tahu, Kak Ana pasti dimarahi. Jangan main pacar-pacaran! Dosa!” Dahiku berkerut. Sok tahu!

“Siapa yang main pacar-pacaran?!” Bagas tertawa lebar. Dia berhasil membuatku kesal. Meskipun begitu, kehadirannya sedikit membuatku tertarik untuk berdialog dengannya. Tentang cokelat pemberian Dimas. Karena jika dengan kakak perempuanku, itu terdengar mustahil.

“Gas,” panggilku.

“Apa?”

“Kalau ada seorang lelaki yang memberi Kakak sebuah cokelat, itu artinya apa ya?” tanyaku ragu. Firasatku mengatakan bahwa setelah ini Bagas akan tertawa jungkir balik di atas kasur. Menertawai kakak perempuannya yang sedang bingung oleh seorang lelaki. Tertawalah, Dik!

“Begini, ini Kak, Bagas kasih pensil ini ke Kak Ana. Menurut Kak Ana, pemberian pensil ini artinya apa?” Aku mengerutkan dahi. “Biasa saja. Tidak ada artinya.” jawabku.

“Bisa jadi begitu.” Aku semakin bingung dengan perkataannya. “Sesederhana itu?” tanyaku.

“Ya, maksudku bisa saja cokelat itu tidak artinya, tadi Kak Ana berpikir seperti itu bukan?” Aku mengangguk pelan. “Tapi,” Bagas menggantungkan perkataannya.”bisa jadi dia berpikiran lain.”

“Maksudmu?”

“Mungkin dia ingin menunjukkan sesuatu.”

“Hah?” Aku semakin tidak mengerti. “Kak Ana suka cokelat?” tanya Bagas. Aku mengangguk. “Suka.” Lalu tiba-tiba Bagas menyeringai.

“Inilah artinya. Dia menginginkan Kak Ana menyukainya, seperti Kak Ana menyukai cokelat ini. Betul kan?”

“Suka dalam bentuk?”

“Memiliki.”

“Dengan cokelat?” tanyaku. Bagas mengangkat bahu. Setelah pembicaraan yang cukup panjang ini, Bagas pergi meninggalkan kamarku. Jawabannya tidak bisa membuatku puas.

Beberapa minggu setelah itu, pertemuan komunitas penulis kembali digelar. Sejak pagi aku sudah siap-siap untuk berangkat. Terlebih dengan pertemuan ini aku akan bertemu dengan Dimas, aku berharap semuanya bisa terjawab. Namun saat tiba di sana, batang hidung Dimas tidak kelihatan. Bahkan sampai kegiatan dimulai, dia tak kunjung datang. Akhirnya kuputuskan untuk menanyakannya pada panitia, Lani.

“Kemarin Dimas berangkat ke Jepang untuk melanjutkan S2 nya. Jadi kemungkinan besar, dia tidak akan mengikuti pertemuan ini lagi.” Aku tertegun. Bingung. Mendapati kenyataan yang seperti ini membuatku semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya Dimas rencanakan. Tiba-tiba datang memberiku cokelat tanpa permisi dan pergi tanpa pamit. Sungguh tidak sopan.

Lima bulan telah berlalu, namun cokelat pemberian Dimas masih belum kumakan juga. Kujadikan cokelat itu sebagai hiasan kamar. Aku tidak peduli. Meski aku berharap disela-sela waktu senggangku, dia akan menghubungiku untuk sekadar menyapaku, sehingga setelah itu aku bisa menyerangnya dengan pertanyaan: Apa arti dari cokelat ini?

Hingga akhirnya waktu benar-benar menjawab harapanku: Ana. Ini aku Dimas. Bagaimana kabarmu?
Tepat pukul 8 malam, Dimas mengirim pesan padaku. Setelah melihat pesan yang dia kirim aku tersenyum dan tiba-tiba merasa frustasi. Akhirnya kami berdua saling membalas pesan, hingga saat aku menanyakan tentang cokelat itu dia menjawab: Aku mencintaimu.

Aku mengerutkan dahi. Lalu kujawab pesannya: Dengan cokelat kah?

Lama sekali kutunggu balasan darinya. Sampai akhirnya dia membalasnya juga: Apa kamu ingin menjadi kekasihku?

Seketika itu pula kulempar ponselku ke atas kasur. Geram. Dia menjawab setiap pertanyaanku dengan lelucon. Aku matikan ponselku lalu duduk ditepi kasur. Termenung.

“Bodoh! Aku mengaguminya selama ini karena kuanggap dia adalah lelaki yang baik, sopan dan bijaksana. Tetapi perilakunya menghadapi seorang wanita sangat tidak sopan. Menjadikan cokelat sebagai pembuktian cinta lalu pergi. Gila!”

Sejak saat itu aku tidak pernah membalas pesan-pesan yang dikirim oleh Dimas. Meski dia terus menanyaiku tentang jawaban terhadap pertanyaannya yang gila.

Hingga suatu saat aku tidak bisa menahannya lagi. Kuambil ponselku dan aku jelaskan semuanya: Terima kasih atas pemberianmu. Aku tidak bisa menjalin sebuah hubungan hanya karena sebuah cokelat. Jika kamu memang mencintaiku, pulanglah, temui kedua orang tuaku. Aku akan lebih bahagia melihatmu mengucapkan akad daripada memberiku sebuah cokelat. Cokelatmu pahit. Aku tidak suka dark cokelat.

Share this

Admin :

Related Posts

Previous
Next Post »