Termanggu di Atas Bukit (Cerpen)

Megita Rubi 6/13/2019

Termanggu di Atas Bukit 
Oleh: Megita Rubi 

termanggu-di-atas-bukit-cerpen



Di kota ini aku tinggal bersama dengan serpihan kenangan yang masih selalu kudekap dalam hati yang terlampau rapuh. Sebagai gadis berusia hampir kepala tiga, tak ada hal lain yang aku inginkan selain melepaskan masa lajang dan bersimpuh penuh hormat pada seorang lelaki yang kelak akan kusebut sebagai seorang suami. Namun kenyataan berkata lain, sampai pada detik ini aku masih termanggu di atas bukit.

 Aku yakin Tuhan telah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Meski sampai pada detik ini aku belum bisa menemukan batang hidung pasangan hidupku. Sejak dua tahun yang lalu, bukit yang di depannya terhampar danau yang luas ini menjadi tempat paling aku sukai. Dengan menatap jauh air yang tenang, segala kenangan demi kenangan seakan membuncah ketika aku duduk di sana. Dan pada hari ini, semuanya seakan telah jelas. Genap dua tahun, dia tidak kembali. Sedang aku terus termanggu di atas bukit.

Aku bosan dengan kegaduhan di sekitarku. Mungkin karena hal itu, aku lebih senang menghabiskan waktu duduk di atas bukit dengan ditemani air danau yang menenangkanku. Keluargaku dan teman-temanku tidak tahu apa-apa. Mereka hanya banyak bicara tanpa mengerti apa-apa. Keluargaku mengatakan bahwa aku sudah gila, karena menunggunya. Semua teman-temanku mengatakan bahwa setia padanya adalah sebuah pembodohan.

Mereka tidak tahu! Bahwa pada kenyataannya perihal hati tidak bisa sesederhana itu.

Mereka juga tidak tahu! Sudah berapa kali hati ini menolak untuk kembali mengenangnya.

Aku lelah… Segala harapan dan penantian seakan membunuhku secara perlahan. Hingga pada suatu waktu aku merasa… hampa. Lalu mengerti akan suatu hal: Harapanku sia-sia.

Hingga pada saat ini, kusandarkan segala benih harapan hanya kepada-Nya. Sebuah nama yang dulu kugaungkan di setiap doa-doaku, kini hanya menyisakan sebuah pengharapan besar pada-Nya. Aku ingin yang terbaik untuk hidupku. Sehingga aku bisa melakukan sesuatu untuk menjadi yang terbaik pula untuknya. Di atas bukit yang tinggi ini, aku duduk termanggu, menatap jauh segala harapan yang dulu selalu kudekap dalam raga. Terbang dan menjauh pergi meninggalkan diri. Tidak apa. Inilah yang terbaik: Berharap pada-Nya.

Share this

Admin :

Related Posts

Previous
Next Post »