SENJA BERJINGGA : Ketika Matahari Tenggelam

10/29/2017
Oleh Megita Rubiana Sabella

senja-berjingga-ketika-matahari-tenggelam-jurnal-kehidupan

Rasanya sudah terlampau jauh aku menjadikannya sebagai seseorang yang terus aku pikirkan selama tiga tahun di SMA. Hanya karena aku merasa bahwa sikapku ini kurang baik terhadap perasaannya. Seseorang pernah berkata padaku bahwa untuk seorang gadis yang sedang di sukai oleh orang lain, sikapku ini terlalu acuh. Meski sedikit kutepis prasangka itu, namun sepertinya aku memang harus lebih menghargai dia yang pernah menyatakan perasaannya padaku. Semua ini berawal saat aku duduk di bangku kelas satu, ketika bel pulang berbunyi, semua teman-temanku sudah pulang namun Tio menahanku. “Aku menyukaimu, Olive.” Ditengah langit berhias jingga, dia mengatakan kata-kata itu padaku. Aku terkejut, lidahku kelu, jantungku berdetak tak karuan. Perasaanku berteriak untuk segera menjawab pernyataannya itu. Namun jauh dalam lubuk hatiku, terdengar suara lirih yang membuatku tertegun.

Jika kamu menerimanya, kamu dan dia akan menjalin sebuah hubungan berpacaran. Siapkah dirimu menjadi seorang perempuan yang akan menjalin hubungan dengan laki-laki yang sama sekali tidak kamu kenal? Bukankah perihal cinta dan kasih sayang itu biasanya mereka persiapkan untuk dirinya di masa depan? Lalu bagaimana kamu akan menjelaskan hubunganmu ini nanti? Dan untuk menikah, kamu bahkan belum bisa menyelesaikan tugas sekolahmu dengan baik. Ini bukan saatnya membicarakan cinta, kasih sayang apalagi sebatas perasaan yang terkadang hilang begitu saja.

Kamu masih menolak? Baiklah, mungkin jika Tuhanmu yang memerintahnya mungkin kamu akan menerimanya. Roda kehidupan dunia yang kamu jalani tak lepas dari pengawasan-Nya, kamu tidak akan bahagia jika melanggar perintah-Nya. Bahkan untuk mengutarakan perasaan cinta, jika tak kamu utarakan dengan cara yang benar menurut pandangan-Nya, maka kamu akan tergelincir oleh kebahagiaan dunia yang tak lebih dari ilusi semata.

Aku menghela napas, entah siapa yang mengatakan semua hal itu padaku. Namun hatiku tak bisa menyangkalnya bahwa aku memang tidak bisa menerima pernyataan ini. Terlalu cepat untuk memulai sebuah hubungan percintaan, terlebih dengan hubungan seperti ini akan membuatku semakin tak bisa bebas melakukan hal apapun. Kekasih? Siapa dia? Mungkin perihal jodoh adalah kuasa Allah, tapi tekadku mengatakan bahwa tidak ada kebahagiaan yang bisa didapatkan dari kemaksiatan. Bismillah, aku akan menolaknya.

“Sebelumnya terima kasih atas pernyataanmu, Tio, aku lebih suka kamu menyukaiku daripada membenciku, tapi untuk selebihnya aku tidak bisa melakukan apapun. Suka dan tidak suka hanyalah sebuah kata-kata, maka kupikir aku menyukaimu, menurut pemikiranku.” Kusudahi pembicaraan empat mata ini dan meninggalkan Tio. Sejak saat itu aku terus memikirkan apakah Tio akan mengerti atau tidak.

Setelah pernyataannya itu, aku dan Tio berteman seperti biasa sampai saat kelas tiga ini. Bahkan komunikasi antara kami berdua masih sama seperti dulu. Seperti tak terjadi apapun, meskipun aku yakin bahwa tidak ada penolakan yang halus, tak membekas sedikitpun, namun aku percaya bahwa ini adalah yang terbaik. Bahkan setelah itu aku dan Tio sering bertemu dalam satu kelompok pelajaran, tentu kami berdua banyak berdiskusi.

“Kamu menolak Tio, tapi Tio bahkan tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Dia masih menyukaimu, Olive.” perkataan Lala saat jam istirahat di sebuah kantin itu sedikit membuatku terkejut, karena sepenglihatanku Tio sepertinya sudah tak ada perasaan lagi denganku.

“Dan kamu Olive, sikapmu itu terlalu kejam untuk dia! Tidak bisakah kamu sedikit tersenyum ketika Tio melihatmu?” Ufa menambahkan, aku semakin terpojok saat itu. “Aku hanya bersikap biasa kepada Tio, kurasa Tio pun bisa menerimanya. Aku tidak mau dia merasa memiliki harapan apapun, aku hanya ingin dia menyadari bahwa hubungan berpacaran bukanlah cara melampiaskan perasaan yang tepat.”

Ufa dan Lala menghela napas panjang, aku bingung dengan mereka berdua. “Kamu itu terlalu kaku, Olive. Anak muda jaman sekarang itu sudah biasa dengan pacaran.” tegas Ufa.

“Iya betul, aku dan Ufa juga sudah punya pacar sekarang, kenapa kamu tidak menerima Tio saja? Setelah itu kita bisa berbagi pengalaman tentang hubungan berpacaraan kita bertiga kan?” Aku hanya tersenyum mendengar pendapat dari teman-teman yang memang sangat dekat denganku sejak kelas satu SMA.

“Maaf aku tidak bisa seperti kalian, aku hanya mempunyai pemikiran yang berbeda tentang hubungan ini. Aku ingin langsung menikah.” Lala dan Ufa tiba-tiba menatap tajam kearahku. “Kita masih kelas tiga SMA, Olive sadar! Kamu mau nikah muda?” Aku tertawa kecil. “Bukan sekarang maksudnya, tapi nanti kalau sudah ada calonnya. Untuk pacaran, aku tidak terlalu tertarik dan juga..“

“Dilarang oleh agama?” Ufa memotong pembicaraanku.

“Eh?” Aku melihat kearah Ufa.

“Iya, aku mengerti kok. Mungkin seharusnya aku yang mengikuti kamu, bukannya memaksamu untuk sama seperti kita berdua. Maaf, Olive, aku belum bisa sepertimu.” Suara Ufa terdengar lirih. “Aku dan Dani sudah berpacaran selama dua tahun, aku terlalu naif jika harus memutuskannya sekarang. Untuk jadi sepertimu itu sulit Olive.” Lala menundukkan pandangannya, aku tersenyum. Entah kapan mereka berdua menyadari bahwa cahaya Allah sudah terpancar dari dalam hati mereka berdua. Aku selalu mendo’akan mereka berdua untuk segera keluar dari lingkaran kegelapannya. Aamiin.

“Semangat! Nanti, kalau kalian berdua putus dengan pacar kalian, hubungi aku ya?” Aku tertawa kecil.

“Olive kejam!!” Aku tertawa bersama mereka berdua, rasanya indah sekali jika bersama-sama dengan mereka. Meskipun aku dan mereka tak satu pemikiran, tapi aku dapat memahami bahwa sebenarnya mereka menyadari apa yang mereka lakukan. Ini hanya masalah waktu, kapan mereka bisa meredam ego dalam hati dan menerima fitrah mereka sebagai seorang manusia yang ingin selalu dihargai perasaannya.

Hari-hari berikutnya, aku tak bisa membayangkan bahwa hubunganku dan Tio setelah pernyataannya itu akan menjadi serumit ini. Terlebih Ufa dan Lala terus memarahiku karena sikapku terlalu acuh terhadap Tio. Aku seperti seseorang yang tidak bisa menghargai perasaan orang lain, aku bingung. Kuambil cara paling tepat yaitu dengan sedikit lebih sering berbicara dengan Tio, meskipun dalam lingkup diskusi ketika belajar saja, karena aku tidak bisa melakukannya lebih dari itu. Semakin lama, aku merasa bahwa aku sering memikirkan Tio. Bukan karena aku mulai menyukainya, tapi karena mengkhawatirkannya. Tentang apakah sikapku ini tidak membuatnya sakit hati atau tidak? Atau tentang apakah sebenarnya dia sudah tidak memiliki perasaan lagi padaku? Jika benar, aku ingin mengetahuinya lebih awal, agar aku bisa menjalani kehidupanku seperti dulu lagi, tak lagi terikat dengan perasaan orang lain.

“Sudah kubilang kalau Tio itu masih menyukaimu! Lihat saja dari sikap dan tatapan matanya! Kamu itu tidak percaya sekali padaku!” Ufa menceramahiku begitupun dengan Lala.

“Aku takut semua itu hanya prasangka kalian saja.”

“Aku yakin seratus persen, Olive!” Dengan cepat kuambil kesimpulan bahwa Tio masih menyukaiku, meskipun aku masih ragu. Jika benar begitu, aku harus lebih memperhatikan sikapku agar tidak menyakiti Tio. Kutekadkan semua ini dalam hatiku.

Keesokan harinya, hujan pun mulai turun ketika jam istirahat. Sayangnya aku tidak membawa payung hari itu. Saat bel pulang berbunyi, aku hendak menunggu hujan reda di dalam kelas setelah Lala dan Ufa pamit untuk pulang karena mereka berdua pulang satu arah, kupikir hanya aku saja yang belum pulang, ternyata seorang laki-laki yang mendadak saja membuatku terkejut masuk ke dalam kelas.

“Olive?”

“Tio?” Ternyata Tio masih ada kegiatan ekstrakurikuler. Kikuk, itu pasti. Aku tidak berniat untuk membicarakan apapun, terlebih hanya aku dan Tio saja yang berada di dalam kelas itu, rasanya aku ingin cepat pulang karena takut terjadi hal yang di luar dugaanku. Tio duduk dibangkunya, aku semakin bingung dengan keadaan seperti ini. Hujan di luar mulai mereda, tak habis pikir lagi, aku pun segera beranjak dari tempat dudukku dan pergi meninggalkan Tio. Namun belum juga aku keluar melewati pintu kelas, Tio memanggilku. “Olive, tunggu!” Jantungku berdegup kencang. “Ada apa?” Aku menoleh.

“Sebenarnya ada yang ingin aku katakan padamu.”

“Apa itu?”

“Aku masih menyukaimu dan akan selalu menyukaimu. Mungkin semua ini terdengar konyol, karena kamu sudah menolakku dulu. Tapi aku benar-benar tidak akan bisa bersama dengan perempuan lain.” Saat itu aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang kudengar.

“Terima kasih, aku yakin kamu mengatakan itu sebagai seorang teman. Aku pulang duluan ya.” Tio tersenyum, aku pun segera pergi meninggalkannya. Namun tetap saja, dengan begitu aku harus bisa lebih menjaga sikap dan jarak terhadap Tio. Meskipun sulit, akan kuusahakan untuk tetap bersikap seperti biasa saja.

Lagi-lagi setelah Tio mengatakan hal itu padaku, aku lebih sering memikirkannya. Rasanya tak karuan, tak bisa kujelaskan dengan rinci tentang apa yang selalu aku pikirkan. Tapi benang merahnya aku sudah paham. Aku tidak bisa melakukan apapun dengan perasaan Tio padaku, tapi aku tidak ingin menyakitinya juga. Sungguh dilema, tapi untuk menerimanya sekalipun itu bukan pilihan yang tepat. Aku hanya berharap suatu saat waktu akan memberiku jawaban yang jelas tentang apa yang sebenarnya harus kulakukan.

Keesokan harinya, suasana kelas menjadi gaduh. Aku belum bisa menemukan penyebab kegaduhan ini, namun tiba-tiba kudengar nama Tio.

“Tio dan Putri sudah berpacaran selama dua minggu.” Aku terkejut sekaligus bingung dengan berita yang membuat gaduh kelasku. Entah hanya berita palsu ataupun memang benar adanya aku ingin mengetahui yang sebenarnya. Karena jelas hal ini membuatku semakin bingung, terlebih kemarin Tio mengatakan dengan tegas tentang perasaannya, rasanya tak ada yang bisa kupercayai saat ini.

Dengan berita yang beredar itu, aku semakin memikirkan Tio. Ingin kutanya padanya tentang semua yang membingungkan ini, tapi untuk apa? Jika benar Tio sudah tak ada lagi perasaan padaku, bukankah lebih bagus? Aku tidak harus lagi memikirkan bagaimana aku harus bersikap. Namun, hidup di tengah keragu-raguan dan ketidakjelasan seperti ini memang tidak menyenangkan.

Sepertinya Allah mengetahui isi hatiku saat ini, tentang kejelasan dan kesimpulan dari semua ini. Dengan takdir Allah, waktu menuntunku pada sebuah kejelasan yang sudah cukup membuatku mengerti. Di bawah langit yang sama, dengan hiasan jingga yang bertaburan di atas langit, aku melihat Tio dan Putri melintas dihadapanku. Tangannya menggenggam tangan Putri, bibirnya tak habis-habisnya tersenyum, lalu tertawa bersama. Dia, Tio, laki-laki yang mengatakan padaku bahwa akan selalu menyukaiku beberapa hari yang lalu kini berjalan dengan bahagianya bersama perempuan lain. Sebenarnya bukan tentang bagaimana perasaanku melihat mereka berdua, tapi tentang bagaimana aku merasa bersyukur atas pilihanku dulu. Lala dan Ufa tak henti-hentinya menghiburku seolah-olah aku merasa sedih dengan semua hal ini. "Aku tidak apa-apa, bukankah sejak awal aku sudah menolaknya?"

"Aku pikir Tio masih menyukaimu, Olive, jadi aku berusaha untuk terus mendukungmu dengan dia." Aku hanya tersenyum. "Aku pun berpikir begitu, karena sikap Tio kepadamu seperti seseorang yang jatuh cinta, jadi.."

"Sudah, tidak apa-apa. Semuanya sudah berakhir, aku senang jika Tio tidak ada perasaan lagi padaku, dengan begitu aku tidak usah memikirkan bagaimana perasaannya lagi, aku bahagia dengan semua ini. "Aku tidak bisa mengatakan kepada mereka berdua bahwa sebenarnya Tio telah mengatakan padaku bahwa dia memang masih menyukaiku dan bahkan memperjelas perkataannya bahwa dia akan selalu menyukaiku. Aku tersenyum, bahkan terkadang tertawa tentang apa yang sebenarnya terjadi. Rasanya bodoh sekali jika selama ini sibuk memikirkan bagaimana perasaan Tio, tentang bagaimana aku harus bersikap agar tidak membuat Tio sakit hati dan lain sebagainya. Aku menyibukkan diri dengan memikirkan perasaan orang lain, bahkan mungkin dia tidak pernah memikirkan itu. Namun semuanya telah terskenario dengan baik, Allah menuntunku pada sebuah kenyataan yang begitu memukulku. Bahwa jika aku memang sudah bertekad untuk menolaknya, maka pembahasannya tidak akan seperti ini. Cukup dengan pembatas, perasaan Tio adalah perasaan Tio dan perasaanku adalah perasaanku. Hanya itu, karena luka dalam hati tak ada seorang pun bisa menghindari, maka terlalu egois untukku berusaha agar Tio tidak sakit hati dengan sikapku. Meskipun dipenglihatanku, Tio seolah-olah mendorongku ke dalam jurang perasaannya, lalu meninggalkanku sendirian seakan tak ada pilihan selain masuk ke dalam jurang perasaan itu. Namun, sinar matahari di senja kala itu membuatku sadar tentang jurang perasaan yang Tio buat dan dengan tenggelamnya matahari pada sore hari itu sinarnya mengiringi langkahku untuk pergi menjauh. Hingga sampai esok pagi aku bisa menjalani kehidupanku seperti dulu lagi.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »