Sudah kuputuskan

10/31/2017
Oleh Megita Rubiana Sabella

sudah-kuputuskan-jurnal-kehidupan

“Aku ingin kita berdua putus.”

“Hah? Maksudmu?” Malam ini udara di luar tidak terlalu dingin, tapi jari-jemariku mendadak menggigil. Gemetar, sesekali kuremas celana jeansku untuk menghilangkan rasa yang tak karuan ini. Jantungku semakin berdegup kencang ketika Rio, kekasihku, terus melontarkan pertanyaan demi pertanyaan yang sama kepadaku. “Hei, Mika! Coba jelaskan padaku!” Lidahku kelu. Rasanya sulit menjelaskan semua hal ini. Aku ingin putus dengan Rio, karena hubungan ini memang permainan. Aku ingin mengatakan ini kepadanya. Namun kegelisahanku mengalahkan semuanya.

“Dasar! Aku sedang bercanda tadi. Hahaha.” Gelak tawa yang kureka sedemikian rupa agar Rio tidak melihat gerak-gerik kebimbanganku saat itu membuatku semakin sakit. Rasanya bukan hanya aku yang kebingungan malam itu, tapi Rio pun sepertinya merasakan hal yang aneh dari sikapku ini. “Aku tidak suka lelucon semacam ini, Mika.” Rio memalingkan muka nya. Hatiku semakin tak karuan. Sejak pertama aku sudah bimbang dengan pernyataanku untuk putus dengan Rio, namun dengan tanpa pikir panjang aku mengatakannya dengan jelas. Aku mencoba untuk meleburkan suasana dengan melemparkan candaan kepada Rio. Dia sedikit marah, namun bukan itu yang kupedulikan. Aku lebih marah kepada diriku sendiri yang tidak tegas ini. Aku sangat menyesal.

“Maafkan aku ya. Hubungan kita sudah cukup lama Rio, jadi aku berniat untuk sedikit memberikan candaan hangat. Kurang lebih begitulah.” Rio menekuk mukanya. Asam. Namun aku tidak peduli. “Tapi aku penasaran tentang pendapatmu jika aku benar-benar ingin putus denganmu bagaimana?” Rio melihat mataku dengan tatapan yang tajam. Namun sebisa mungkin aku bersikap santai meskipun saat itu degupan kencang menghampiriku lagi.

“Aku sudah bilang padamu, kalau aku tidak suka lelucon semacam ini.” Rio kekeh dengan perkataan sebelumnya. Aku menghela napas, mencoba mencari celah agar Rio bisa memberikanku sebuah gambaran ketika esok atau entah kapan aku bisa mengatakan bahwa aku akan putus dengannya.

“Aku bilang kan cuman penasaran. Tidak masalah kan kalau kamu hanya mengutarakan pendapat saja?” Kulihat Rio melirik kearahku. Aku tersenyum. Mencoba memastikan bahwa aku memang hanya penasaran saja, meskipun kenyataannya dengan pendapatnya itu aku bisa mengatur strategi baru untuk memutuskan Rio nanti.

“Ya sudah kalau kamu memaksa. Kalau kenyatannya tadi kamu memang ingin putus denganku, aku pasti akan marah.” Rio melipat tangannya, sepertinya dia ingin menunjukkan padaku bahwa saat itu ia serius dengan perkataannya.

“Rio, bukannya tadi juga kamu marah?”

“Ya! Tapi kalau kamu benar ingin putus denganku, aku akan marah lebih dari ini! Kita sudah berpacaran selama lima tahun, Mika! Coba kamu pikirkan tentang kisah kita bersama selama ini!” Aku bisa merasakan nada bicara Rio yang menggebu-gebu. Mencoba menjelaskan dan menyuruhku untuk berpikir kembali tentang keputusanku untuk putus dengannya. Namun nihil, semua perkataannya tadi hanyalah sebuah hembusan napas tanpa arti. Lima tahun berpacaran? Kenangan kita bersama? Akan lebih terasa menyakitkan lagi, jika hubungan ini terus berlanjut hingga berpuluh-puluh tahun namun tak ada kepastian untuk menikah. Usiaku saat ini 25 tahun dan usia Rio 29 tahun. Bukankah itu sudah cukup untuk membicarakan hal yang pasti? Seperti menikah. Bukan seperti ini. Menghabiskan waktu selama lima tahun mungkin akan berlanjut semakin lama lagi dengan bermain-main untuk membuat kenangan bersama. Apa artinya sebuah kenangan ketika semuanya harus kandas karena sebuah ketidakpastian. Aku ingin menikah.

“Oh begitu. Tapi Rio, bukankah lima tahun kita berpacaran itu sudah cukup?”

“Cukup? Maksudmu?”

“Ya, cukup, untuk.. menikah.” Suaraku mengecil. Aku menunduk melihat sepatu yang dipakai Rio. Rio belum juga menjawab perkataanku tadi.

“Aku belum siap.” Suara Rio melemah. Nada suara menggebu-gebu yang kudengar tadi rasanya hilang di telan waktu.

“Alasan yang klise.”

“Aku belum siap!” bentak Rio.

“Lalu kapan kamu akan siap?!” Tak terasa pipiku basah dengan air mataku yang mengalir deras. Pikiranku melalang buana ketika aku dan Rio merayakan hari jadi ketiga kita berdua berpacaran. Aku menanyakan hal yang sama kepada Rio. Kapan dia akan menemui ayahku, untuk melamarku. Mungkin bagi Rio saat itu usia hubungan kami masih muda. Tiga tahun berpacaran dia mengatakan masih belum cukup untuk ke jenjang yang lebih serius. Kuiyakan saja saat itu dan kuberi kepercayaanku pada Rio. Mungkin memang harus membutuhkan waktu untuk memantapkan hati menuju jenjang pernikahan, pikirku saat itu. Namun saat ini, niat baikku yang tertutup nafsu Rio sudah tak bisa kubendung lagi. Kenyataan yang sebenarnya bahwa aku ingin memutuskan hubungan ini dengan menikah tak bisa kutahan lagi.

Seminggu sebelum aku memantapkan hati untuk memutuskan hubunganku dengan Rio, aku bertemu dengan teman lamaku saat di SMA dulu, Kana. Aku bertemu dengan Kana di sebuah Mall saat aku sedang berbelanja sendirian. Betapa terkejutnya aku melihat Kana untuk pertama kalinya lagi setelah sekian lama tidak pernah bertemu. Aku dan Kana memang cukup dekat. Kami berteman sejak masuk bangku SMA, di kelas yang sama. Meski saat SMA dulu, aku dan Kana tidak pernah sama sekali membicarakan tentang laki-laki. Jujur saja, aku sungkan jika harus membicarakan laki-laki yang aku suka pada Kana. Dia tipe orang yang pendiam, pemalu, bukan, lebih tepatnya pintar memposisikan diri. Tak pantas rasanya jika aku menyebut Kana gadis yang pendiam ataupun pemalu, kenyataannya dia menjadi ketua osis di SMA dulu. Dia anggun dan ramah, namun juga tegas ketika memimpin rapat. Saat itu aku melihat Kana untuk pertama kalinya. Kulihat dia tengah menggendong bayi bersama seorang lelaki yang kutemui dua tahun yang lalu di sebuah pernikahan sederhananya. Kana sudah banyak berubah, bukan ke arah yang buruk namun ke arah yang bahkan lebih baik lagi dari sebelumnya. Dengan balutan jilbab berwarna biru toska dan khimar berwarna senada membuatnya semakin anggun dan cantik. Di tambah dengan kebahagiaan keluarga yang kulihat jelas di depan mataku. Banyak hal yang kuperbincangkan dengan Kana. Sesekali mengenang kembali masa-masa SMA. Bercanda bersama, dia memang Kana yang kukenal dulu. Yang setiap katanya selalu bernapaskan islami, rasanya nyaman sekali berbicara dengan dia. Di tengah pembicaraan kami berdua yang hangat, tiba-tiba Kana menanyakan sesuatu hal yang membuatku terdiam.

“Kapan mau nyusul?”

“Nyusul apa maksud kamu?” Aku pura-pura tidak mengetahui arah pembicaraan Kana saat itu. Padahal aku sudah paham betul dengan pertanyaan itu. Kapan aku menikah, kurang lebih begitu Kana menanyakan.

“Menikah.” Aku tersenyum mendengar perkataan Kana. Sesekali menghela napas panjang. Pertanyaan Kana pas sekali dengan pikiranku saat itu. Tentang kapan Rio akan menikahiku.

“Aku sudah berpacaran dengan Rio, pacarku, selama lima tahun. Tapi dia tidak pernah membicarakan tentang pernikahan ataupun hal pasti lainnya. Terkadang aku bingung harus bagaimana.” Kulihat Kana tersenyum simpul mendengar curhatanku saat itu. “Kalau kamu sendiri, bagaimana dengan suamimu? Berapa lama kamu berpacaran?”

“Aku tidak berpacaran dengan suamiku, Mika.”

“Tidak berpacaran? Kamu dijodohkan oleh orang tuamu?” Kana menggeleng. “Aku berkenalan dengan dia selama kurang lebih tiga bulan lalu langsung menikah.” Aku terkejut. Tiga bulan? Langsung menikah? Mengapa bisa?

“Kamu hanya membutuhkan tiga bulan untuk memantapkan hati dan menjadikan dia sebagai suamimu? Kenapa?” Pertanyaanku terus menyerbu Kana.

“Itulah cinta, Mika. Aku hanya mengikuti skenario yang telah Allah tunjukkan padaku. Bahwa ketika rasa cinta itu hadir maka menikahlah.” Aku masih belum mengerti apa yang dikatakan oleh Kana.

“Meskipun sekarang aku ingin sekali untuk menikah, tapi kalau hanya beberapa waktu untuk mengenalnya aku rasa itu tidak cukup, aku pikir kamu dan suamimu harus berpacaran dulu, saling mengenal, saling memahami lalu baru menikah.”

“Kamu sudah berapa lama berpacaran dengan Rio?”

“Kurang lebih lima tahun.”

“Kamu isi dengan apa lima tahun berpacaran dengan Rio?” Aku kikuk dengan pertanyaan Kana. Lima tahun berpacaran dengan Rio, apa yang kudapat? Aku bahkan tak habis pikir, waktu selama itu tak ada hal yang kuingat sedikitpun. “Mungkin kamu dan Rio merasa selama lima tahun telah menghabiskan waktu bersama. Bersenang-senang, bermain-main, bahkan mungkin terjadi sebuah pertengkaran lalu merasa sudah terselesaikan. Begitu bukan?”

“Ya begitulah Kana. Selama lima tahun ini aku telah menghabiskan waktu bersama Rio.”

“Bukankah hal itu merugikanmu Mika?”

“Merugikanku? Maksudmu?”

“Kamu menghabiskan waktu bersama laki-laki yang bukan suamimu?” Aku tertegun. “Disini wanita yang akan dirugikan Mika. Kamu menghabiskan waktu dengan laki-laki yang bukan suamimu, bersenang-senang. Kalau hidup hanya untuk bersenang-senang, maka tidak ada artinya hidup di Dunia. Kamu pernah menanyakan kapan Rio akan menikahimu?”

“Ya, aku pernah menanyakan pada Rio. Tapi dia mengatakan bahwa saat ini bukan waktu yang tepat. Dia masih membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memantapkan hatinya.”

“Begitulah, Mika. Dia masih membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bermain-main denganmu.”

“Kana, entah mengapa saat kamu membicarakan hal ini, aku sangat terpukul sekali. Bukan, aku bukan marah padamu ataupun merasa jengkel karena kamu terus mengomentari hubunganku dengan Rio. Tapi, aku merasa melakukan sebuah kesalahan. Tapi aku tidak tahu apa itu, dan mengapa aku bisa melakukan sebuah kesalahan seperti itu. Aku hanya ingin menikah, maka dari itu aku berpacaran dengan Rio untuk mengenalnya lebih jauh dan saling memahami satu sama lain. Tapi tentang waktu kapan aku menikah, aku merasa bimbang.”

“Sudah sewajarnya seorang manusia ingin menikah Mika. Karena manusia di beri sebuah perasaan nan suci oleh Allah. Tapi hanya dua pilihan saja ketika perasaan cinta itu hadir, Mika.”

“Apa itu?”

“Melampiaskan atau mengendalikannya.”

“Maksudmu sekarang aku sedang melampiaskan perasaanku?”

“Betul. Tapi caramu melampiaskan itu keliru.”

“Hah?”

“Berpacaran, kamu melampiaskan perasaanmu dengan berpacaran. Sebuah hubungan yang tak jelas arah tujuannya. Kamu merasa seperti itu kan saat ini?” Aku mengangguk, tanda mengiyakan. Sebuah hubungan yang tak jelas arah tujuannya, aku melakukannya selama lima tahun ini?

“Dengan alasan cinta, mereka berpacaran selama bertahun-tahun bahkan sampai berpuluh-puluh tahun, hanya untuk apa? Untuk saling memahami? Untuk saling mengenal? Bukan, bukan Mika, tapi untuk melampiaskan hawa nafsunya. Rasa cinta yang mereka punya tidak mereka lampiaskan dengan cara yang benar.”

“Jadi menurutmu, aku berpacaran saat ini itu adalah tindakan hal yang salah?”

“Aku harus mengatakan yang sebenarnya Mika. Karena hanya satu cara untuk melampiaskan rasa cinta, yaitu dengan menikah. Bukan dengan pacaran ataupun hubungan yang tak jelas lainnya yang hanya dapat membuat kita, para wanita merasa dirugikan. Bukan hanya wanita, bahkan mungkin lelaki sekalipun merasa perasaan mereka tak di hargai oleh pasangannya.”

“Aku pernah mendengar seseorang menikah dengan cara berta’aruf. Tapi aku merasa tidak pantas untuk melakukannya, Kana. Terlebih saat ini orang-orang menganggap bahwa sebelum menikah biasanya pasangan itu selalu berpacaran terlebih dahulu.”

“Apa orang lain akan ikut merasakan apa yang kamu rasakan?” Aku menggeleng. “Lalu, untuk apa kamu merasa terbebani oleh pendapat orang lain? Aku tidak ingin menjadi diri yang munafik, kuakui saat aku dan suamiku dulu menjalani ta’aruf atau sering kita menyebut proses pengenalan, keluargaku sempat tidak setuju. Kenapa? Tepat seperti yang kamu katakan tadi, kelaziman masyarakat atau tradisi masyarakat yang begitu melekat, sebelum menikah ya pacaran dulu. Seiring berjalannya waktu, aku menemukan sebuah arti kehidupan yang sebenarnya tentang bagaimana perasaan ini dapat dihargai. Ya dengan menikah bukan dengan pacaran, terlebih aku melihat teman-temanku yang merasa tak dihargai perasaannya saat menjalani hubungan tak jelas itu. Apakah orang lain akan ikut merasakan betapa sakitnya ketika perasaan tidak dihargai? Tidak. Apalagi untuk membantu, mereka tidak bisa melakukan apapun. Karena itu aku percaya, bahwa semua hal yang ada pada diri manusia hanya bisa kita kembalikan kepada Allah, bukan kepada orang lain. Ketika Allah menyuruh kita untuk menikah, maka menikahlah. Itu adalah hal yang terbaik untuk kita.” Aku tertegun mendengar perkataan Kana, seperti sebuah sambaran petir di siang bolong yang tiba-tiba menyambarku hingga tersadarkan bahwa saat itu aku telah berjalan di sebuah jalan yang salah. Aku menangis, Kana memberiku semangat. Rasanya perkataan Kana tadi telah menampar pipiku dengan keras, sakit memang tapi hal itu membuktikan bahwa aku masih memiliki perasaan yang harus Rio hargai. Terlebih aku telah salah menitipkan harapanku pada manusia, bukan pada Sang Maha Penyayang, Sang Maha Pemilik Cinta yang sesungguhnya, yaitu Allah. Aku baru menyadari bahwa sejak awal aku sudah memilih jalan yang salah, mungkin ini adalah peringatan dari Allah bahwa seharusnya aku tidak memilih jalan ini. Dan Allah menunjuk Kana untuk menjelaskannya padaku. Aku menangis sejadi-jadinya, kerudungku basah oleh air mata yang tak bisa kubendung lagi. Aku memeluk Kana.

“Aku akan putus dengan Rio.” Aku terus mengatakan hal itu berulang kali. Sampai saat aku sudah merasa tenang, kuusap air mata yang membasahi pipiku dan mengucapkan rasa terima kasihku pada Kana. Dan begitulah Kana, sifat rendah hatinya membuatku semakin sayang kepada sahabatku yang satu ini.

Dan saat ini dengan berlinangan air mata telah kubuktikan perkataanku pada Kana, aku akan putus dengan Rio. Emosiku yang meluap-luap mengalahkan rasa takutku.

“Jadi kapan kamu akan siap untuk menikahku?!” Rio terbelalak dengan sikapku saat itu, semuanya jelas kulihat dari raut wajahnya yang panik.

“Soal itu.. aku juga tidak tahu.” Hatiku semakin sakit mendengar jawaban Rio. “Baik, jika itu jawabanmu, maka tegas kukatakan padamu bahwa hari ini aku ingin putus denganmu. Ini bukan lagi sebuah lelucon belaka, Rio! Aku serius ingin putus denganmu!” Rio terkejut dengan perkataanku. Aku menatap tajam Rio. “Sadarlah Mika! Ada apa denganmu?”

“Sadar? Ada apa denganku? Bukankah pertanyaan itu lebih pas aku pertanyakan kepadamu? Kapan kamu akan sadar bahwa perasaanku padamu itu bukan untuk dipermainkan! Dan ada apa dengan sikapmu yang terus menyuruhku untuk tetap menjalani hubungan yang tak ada arah tujuannya ini?!”

“Sudah kubilang padamu, bahwa aku belum siap. Jika aku sudah siap, pasti aku akan menikahmu.”

“Butuh waktu berapa lama kamu akan siap untuk menikahiku? Sepuluh tahun? Lima belas tahun? Atau kamu hanya membual untuk menujukkan bahwa kamu itu seseorang yang tidak memiliki komitmen?!” Kata-kataku semakin menajam. Emosiku meluap, namun sebisa mungkin aku mengendalikannya. Kulihat raut wajah Rio merah padam, seperti tersinggung dengan perkataan tadi. Seseorang yang tidak memiliki komitmen, rasanya perkataan itu yang mewakili kekesalanku saat ini. Namun detik waktu mengantarkan kami berdua pada keheningan sesaat, Rio tak kunjung angkat bicara setelah kulontarkan perkataan tajam tadi.

“Setidaknya tunggu sampai aku menemukan pekerjaan yang layak. Menikah itu bukan perkara yang mudah. Aku perlu mempersiapkan rumah untuk beristirahat, uang untuk memenuhi kebutuhan kita dan hal lainnya. Aku masih belum siap untuk itu.”

“Aku? Apa kamu akan menikah dengan dirimu sendiri?” Aku mengela napas panjang. “Rio, selama lima tahun aku berpacaran denganmu, aku tidak pernah melihatmu mempersiapkan hal itu. Katakan yang sebenarnya jika perkataan tadi itu salah. Apa kamu pernah mempersiapkan hal itu?” Rio tidak menjawab. Hembusan napasnya terdengar berat. “Aku tidak ingin menuntutmu harus begini dan begitu untuk menjadi suamiku. Aku hanya ingin kamu mau menikahiku karena Allah dan melanjutkan kehidupan bersama untuk meraih ridho Allah. Itu saja.”

“Aku masih belum siap.” Lagi-lagi Rio mengatakan hal itu padaku. Aku semakin geram. Setelah perkataanku yang sangat panjang, dia hanya menjawabnya seperti itu. “Kalau begitu, aku ingin memutuskan hubungan ini denganmu.” tegasku.

“Baiklah, jika itu kemauanmu.” Aku melihat Rio, raut wajahnya pun tak lagi merah padam seperti tadi. Entah apa yang membuatnya menjadi berubah seperti ini. Tak lagi arogan seperti tadi. “Tapi, aku ingin menanyakan satu hal padamu, Mika.” Kuperhatikan dengan seksama saat Rio mengatakan hal itu. “Apa yang membuatmu ingin menikah?” Dengan santainya Rio menanyakan hal itu padaku. Emosiku mulai menguap lagi. Pertanyaan bodoh macam apa ini, pikirku. Semua orang ingin menikah, melampiaskan perasaannya pada sebuah ikatan pernikahan. Terlebih atas nama agama, semua itu sudah jelas tak perlu dipertanyakan lagi.

“Kamu itu aneh, Rio. Bukankah pertanyaan itu sudah jelas jawabannya? Yang menjadi persoalan saat ini adalah mengapa kamu masih tetap ingin menjalani hubungan ini?” Rio menghela nafas panjang. Tangannya ia lipat di depan dada dan menatap tajam ke arahku. Tak bisa kuterka apa maksud dari tatapan Rio saat itu. Aku mengalihkan pandanganku.

“Mungkin kita memang tidak bisa bersama.” Aku melihat Rio lagi. “Entah apa yang terjadi padamu, tapi saat ini kurasa kamu telah berubah, Mika. Kita tidak lagi satu pemikiran.” Kuakui semua yang dikatakan Rio saat itu. Aku berubah. Prinsipku telah berubah. Aku pun tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi secepat ini. “Mungkin kita memang harus mengakhiri hubungan ini.” Rio melangkahkan kakinya menghampiri motor dan menaikinya. Setelah memakai helm, ia berbalik menoleh ke arah ku.

“Akan kuantar kamu pulang, dan mungkin ini terakhir kalinya aku akan bertemu denganmu.” Aku mengernyitkan kening, bingung. “Maksudmu?” Rio berbalik menghadap ke depan. “Besok aku akan pergi ke kota, untuk mencari kerja.” Aku semakin bingung dengan perkataan Rio. “Lalu kuliah mu?” Rio menoleh ke arah ku. “Berangkat kuliah lalu langsung pulang ke sini rasanya melelahkan juga, kuputuskan untuk menyewa kamar kos disana. Lagipula, alasanku pulang pergi kuliah hanya karena ingin bertemu denganmu, lalu setelah ini aku tidak mempunyai alasan untuk tetap berada disini.” Aku mengangguk, tanda mengiyakan. “Ayo, naik.”

Aku belum juga menaiki motor Rio, “Mungkin aku akan naik mobil umum saja, Rio.” Rio melihatku. “Ya sudah kalau begitu. Hati-hati, maaf tidak bisa mengantarmu sampai pulang. Assalamualaikum.” Tak banyak bicara Rio langsung menggas motornya dan menghilang dikejauhan tertutupi gelap gulitanya malam.

Berakhirlah sudah. Semua yang ingin kukatakan pada Rio sudah tersampaikan. Sering kumendengar cerita dari teman-temanku ketika putus dengan kekasihnya, rasa sedih, kecewa, marah, menyesal semuanya seperti tercampur aduk. Tapi bagiku, semuanya indah, lega dan aku bahagia. Sama seperti langit malam itu, cerah, bertabur bintang di tengah hitam legamnya langit malam. Dan semuanya di mulai esok, akan kutata kembali kehidupanku yang hancur oleh nafsu duniaku. Akan kucari, arti kehidupan yang sebenarnya bersama tekad yang kumiliki, bersama sahabat terbaiku, Kana, yang akan selalu membimbingku dan bersama Dia, Sang Maha Segalanya yang mampu membolak-balikan hati manusia sehingga kini aku mengerti dengan semua yang kulakukan dulu adalah keliru. Selamat tinggal Rio, semoga kelak kamu akan mengerti bahwa cinta yang kita berdua miliki tak hanya cukup dengan hubungan berpacaran saja, tapi bersumpah di depan wali dan saksi adalah bukti sebenarnya dari cinta yang Dia berikan pada masing-masing hati.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

3 comments

Write comments
November 1, 2017 at 3:56 AM delete

andai perempuan zaman now kayak mika, wah pasti luar biasa..

Reply
avatar
Ayu
November 1, 2017 at 4:00 AM delete

bener tuh, kalau cowok seperti RIO yg gk punya komitmen mending tinggalin aja

Reply
avatar
November 1, 2017 at 4:06 AM delete

kok bisa ya mika nyari celah yang pas buat mutusin cowok nya?

Reply
avatar