Perempuan Mamah

11/27/2017
perempuan-mamah-jurnal-kehidupan

Perempuan didepanku masih saja merapihkan seragam yang ku kenakan untuk pergi ke sekolah. Ia tak pernah bosan mengatakan ini padaku “sayang, kamu itu perempuan mamah, kamu harus tampil cantik dan rapih.” Ucapannya itu selalu terngiang-ngiang hingga aku bosan mendengarkannya. Semua ini membuatku lelah, usiaku kini menginjak 17 tahun. Aku ingin seperti gadis remaja lainnya yang bebas memadukan fashion nya, bebas berteman dengan siapa saja dan tentunya menentukan pilihannya. Namun takdir berkehendak lain, aku terlahir dari rahim seorang ibu yang sangat menyayangiku dan amat sangat memperhatikanku, ia ingin aku selalu tampil cantik dimata semua orang dari penampilan, teman, bahkan makanan pun ia sangat berhati-hati agar aku tetap cantik. Menurutku sikap mamah kepadaku terlalu berlebihan, gak seharusnya ia seperti ini, aku sudah besar bukan anak kecil lagi.

Singkat cerita, aku dan mamah pergi ke sebuah mall yang lumayan besar di daerahku, disana mamah melihat informasi tentang perlombaan Modeling, tanpa pikir panjang mamah langsung menghubungi kontak person yang tertera dikertas itu dan mendaftarkanku sebagai peserta tanpa meminta persetujuan dariku. Sampai dirumah aku menolak kemauan mamah “Mah, melia gak mau ikut modeling”. Sambil memelukku dan berkata “ini semua demi kebaikanmu sayang, kamu itu anak mamah, kamu harus cantik nak, dan kamu harus ikuti perintah mamah sayang”. Segala protes telah aku lakukan, tapi semuanya zonk tak membuahkan hasil apapun. Sampai akhirnya aku mengikuti perlombaan modeling itu. Sebelumnya aku baik-baik saja, kondisi badanku sehat tapi entah mengapa saat aku jalan diatas cat walk aku terjatuh dan menyenggol tiang lampu yang ada disampingku hingga menghatam kakiku serpihan kaca lampu itu menyerang mataku, seketika itu gelap yang terlihat. 

Keesokan harinya badanku sudah terbujur diatas ranjang rumah sakit, lemas terasa, kedua mataku diselimuti perban dan kakiku di gif. Perlahan aku menggerakan jemariku, tiba-tiba suara mamah terdengar “melia... bangun nak,” aku menyahuti “maaah, sakit mah..” mamah membalasku “iyah nak, sabar sayang, maafkan mamah melia”. 

Sore harinya seorang dokter beserta perawat menghampiri ruangan bangsal utama 2 untuk membuka perban dimataku, senang nya bukan main saat perban yang menempel bak perangko dimataku ini akan dilepas. Dokter itu memberi aba-aba padaku “dalam hitungan ke 3 buka matamu nak, pelan-pelan saja 1... 2... 3... “ aku lantas membuka kan mataku, tapi.. yang kulihat hanya hitam dan hitam tak ada warna selain itu, tanpa sadar aku meneteskan air mata. “Mah, mamah... melia gk bisa liat mamah.” Mamah menangis melihat keadaanku, “mah maafkan melia, melia buta mah.. melia bukan perempuan mamah, melia gak cantik lagi mah”. Aku menangis sejadi-jadinya. Mamah berusaha menenangkanku dan memeluk erat tubuhku. “sayang, jangan bicara begitu nak, melia tetap perempuan mamah, melia tetap cantik nak, maafkan mamah nak yang terlalu terobsesi menginginkan kamu cantik sempurna dan memintamu menuruti semuanya, maafkan mamah nak.” Aku membalas erat pelukan mamah.

Berbulan-bulan, mamah lah yang setia tetap menyayangi dan merawatku tanpa keluh, ia masih tetap memperhatikanku meski sekarang aku tak cantik seperti dulu, dan aku tak bisa apa-apa. Disini aku sadar, bahwa yang nama nya seorang ibu kasih sayang nya tak terhingga sepanjang masa, semua ibu ingin yang terbaik untuk anaknya, seorang ibu tak ingin anak nya terluka meski secuil luka tergores, seorang ibu rela apapun demi anaknya. Ku nyanyikan untukmu mah “Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »